Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Secangkir Kopi, Musik dan Harga Royalti: Silent Cafe vs Branding Experience

25 Agustus 2025   21:50 Diperbarui: 27 Agustus 2025   06:31 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi live music di kafe (PEXELS/RONE FERREIRA)

Saya sebenarnya tipe yang tidak begitu peduli apakah ketika berkunjung ke sebuah kafe harus ada musiknya atau tidak, tapi sejatinya saya suka musik. Jika ada ya saya nikmati, jika tidak ya saya nikmati saja suasananya. Apalagi jika makanan, minumannya, atau kopinya enak, terasa hommy atau instagramable, jadi ada pengalih perhatian.

Tapi tidak semua orang bersikap seperti saya ketika mengunjungi kafe. Sebagiannya malah berpikir, kafe tanpa musik tidak asyik. Apalagi jika sudah menganggap kafe sebagai bagian dari gaya hidup urban yang bukan sekedar tempat ngopi. Lantas musik pun dianggap sebagai bagian dari "branding experience". 

Tapi tidak sedikit yang beranggapan musik sebagai "penganggu". Apalagi yang sedang bekerja atau rapat daring. Atau mereka yang butuh "privasi" karena sedang nugas untuk kuliah yang butuh keheningan. Lantas muncul preferensi "kafe hening" atau "co-working caf".

Memang dalam dekade terakhir, sebuah kafe bukan lagi sekadar tempat minum kopi. Di Aceh saja pemilik kafe berlomba memanjakan pengunjung dengan membuat kafe bernuansa retro, minimalis, atau semacam ruang pelesir keluarga. Akhirnya kafe bukan hanya sekadar tempat minum atau kongkow, tapi ia menjelma menjadi ruang gaya hidup.

Di Banda Aceh saja yang dijuluki kota 1000 kedai kopi, kafe hadir sebagai perpanjangan ruang sosial. Di ruang itu orang menjadikannya tempat bekerja jarak jauh, ruang diskusi komunitas, hingga sekadar kongkow atau berswafoto dan membuat konten untuk media sosial. Dalam bentuk seperti itulah lantas musik dianggap menjadi elemen penting dalam membangun identitas. 

Kafe dengan iringan musik jazz yang memberi kesan elegan tidak lagi menjadi sesuatu yang asing di daerah, bukan hanya di ibukota saja. Kafe dengan musik pop yang terasa santai, bahkan hingga kafe indie yang lebih memilih memutar lagu-lagu eksperimental untuk membedakan diri dari arus utama juga muncul sebagai alternatif lain.

Artinya kebutuhan orang terhadap kehadiran musik menggambarkan satu hal soal selera, bahwa musik memang penting, tapi tidak selalu mutlak.

Dilema Royalti dan Siasat Baru

Ketika muncul persoalan royalti dari lagu-lagu yang diputar atau dinyanyikan live di kafe-kafe, tentu menjadi dilema tersendiri bagi si pengelola kafe. Di satu sisi ingin memanjakan pengunjung sebagai bagian dari "branding experience", di sisi lain harus memenuhi kewajiban membayar royalti.

Benarkah kafe tanpa musik tetap bisa menarik? Dan bagaimana pemilik kafe menyiasati persoalan royalti musik yang kian ketat? Jika sikonnya sudah begitu?

Apakah musik benar-benar mutlak harus ada di kafe, atau keheningan justru bisa jadi daya tarik baru?

Bagaimanapun harus diakui hak cipta musik di ruang publik dianggap penggunaan komersial. Bagi pemilik kafe, pilihan untuk memutar musik tidak lagi sekadar soal selera. Ada konsekuensi hukum yang mengikutinya. Apalagi sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ditegakkan. Itu berarti, ada kewajiban membayar royalti kepada pencipta lagu atau pemegang hak terkait yang mewakilinya melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Pemilik kafe ada yang bersedia membayar, ada pula yang memilih menghentikan pemutaran musik sama sekali. Bagi sebagian lain, membayar royalti dianggap investasi. 

Besaran tarifnya masih menjadi diskurus, dengan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Pencipta, dan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk Royalti Hak Terkait, total Rp 120.000 per kursi per tahun.

Namun bagi kafe yang rerata bagian dari jaringan UMKM masih berharap adanya keringanan atau pembebasan tarif sebagai bentuk dukungan agar usaha kecil tetap berkelanjutan. Alasannya karena pemilik bisnis khawatir royalti ini akan menjadi fixed cost yang memicu kenaikan harga makanan atau minuman --- terutama di saat okupansi tak selalu penuh. JIka belum apa-apa bandrol harga sudah naik, maka upaya menggaet pengunjung pun makin jadi tantangan baru.

Jika memutuskan untuk tidak membayar lantas apa yang harus dilakukan?

Sebagian kafe menggunakan alternatif memutar musik dari platform yang bebas royalti yang tersedia di platform daring. Meskipun pilihannya terbatas dan bukan lagu-lagu hit dan viral, tapi pilihan itu lebih baik daripada hening karena bisa mengisi ruang dengan suasana netral.

Sementara yang lainnya memilih menggunakan live musik akustik atau menggunakan musisi indie lokal sekaligus promosi karya mereka.

Terlepas dari persoalan dilema royalti, sebenarnya menggunakan musik "berbayar" juga menjadi edukasi bagi pemilik kafe dan juga pengunjung yang belum paham soal kewajiban royalti. Bahwa royalti bukan sekadar beban, tapi penghargaan bagi pencipta musik.

Tapi jika semuanya tak terakomodir, seperti banyak kafe di Jepang dan Korea mereka memilih konsep silent caf. Jadi kafe yang justru menjual ketenangan. Suasana hening dianggap bernilai, terutama bagi mereka yang butuh ruang kerja serius. Mungkin butuh pembiasaan--transisi ketika pemilik kafe memilih konsep ini.

Sebagai pengunjung kafe yang tidak sepenuhnya bergantung pada musik sebagai alasan untuk datang atau bekerja saya tidak terbebani. Namun ketika bicara soal musik di kafe memang bukan sekedar perkara selera pengunjung atau beban royalti. Bagaimanapun kafe dan musik beroyalti itu selain mencerminkan gaya hidup modern, juga bersangkut paut dengan regulasi hukum, dan penghargaan terhadap karya seni.

Menurut saya, secangkir kopi masih bisa dinikmati dengan atau tanpa musik. Namun yang terpenting, kafe tetap harus bisa menjadi ruang nyaman, bagi pengunjung, tapi juga bagi musisi yang karyanya ikut menghidupkan suasana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun