Jika memutuskan untuk tidak membayar lantas apa yang harus dilakukan?
Sebagian kafe menggunakan alternatif memutar musik dari platform yang bebas royalti yang tersedia di platform daring. Meskipun pilihannya terbatas dan bukan lagu-lagu hit dan viral, tapi pilihan itu lebih baik daripada hening karena bisa mengisi ruang dengan suasana netral.
Sementara yang lainnya memilih menggunakan live musik akustik atau menggunakan musisi indie lokal sekaligus promosi karya mereka.
Terlepas dari persoalan dilema royalti, sebenarnya menggunakan musik "berbayar" juga menjadi edukasi bagi pemilik kafe dan juga pengunjung yang belum paham soal kewajiban royalti. Bahwa royalti bukan sekadar beban, tapi penghargaan bagi pencipta musik.
Tapi jika semuanya tak terakomodir, seperti banyak kafe di Jepang dan Korea mereka memilih konsep silent caf. Jadi kafe yang justru menjual ketenangan. Suasana hening dianggap bernilai, terutama bagi mereka yang butuh ruang kerja serius. Mungkin butuh pembiasaan--transisi ketika pemilik kafe memilih konsep ini.
Sebagai pengunjung kafe yang tidak sepenuhnya bergantung pada musik sebagai alasan untuk datang atau bekerja saya tidak terbebani. Namun ketika bicara soal musik di kafe memang bukan sekedar perkara selera pengunjung atau beban royalti. Bagaimanapun kafe dan musik beroyalti itu selain mencerminkan gaya hidup modern, juga bersangkut paut dengan regulasi hukum, dan penghargaan terhadap karya seni.
Menurut saya, secangkir kopi masih bisa dinikmati dengan atau tanpa musik. Namun yang terpenting, kafe tetap harus bisa menjadi ruang nyaman, bagi pengunjung, tapi juga bagi musisi yang karyanya ikut menghidupkan suasana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI