Memang benar seperti alasan putri saya bahwa jaman sudah berubah. Bahkan peran orang tua dalam hal ini pasangan suami istri kini telah menjadi ganda. Istri tidak lagi sepenuhnya menjadi seorang ibu rumah tangga belaka, tapi kini juga bekerja.
Seperti sebagian generasi sandwich malah kena tugas ganda, menjaga keluarga dan orang tuanya sekaligus tantangan menyiapkan diri untuk bisa "mapan" di usia tidak lagi bekerja kelak dengan tabungan atau investasi yang diharapkan bisa menjadi "passive income" yang bisa "menghidupinya" tanpa harus bekerja ekstra keras lagi di masa tuanya.
Alasan jaman berubah, salah satunya karena ya misalnya saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan akhirnya menjadi seorang guru seperti cita-cita sejak awal, dan setelahnya tentu saja mengharuskan kita bekerja. Begitu juga Paksu, suami yang secara kodrati dianggap sebagai tulang punggung keluarga sebagai pencari nafkah. Segala sesuatu telah berubah. Pasangan sudah bekerja dua-duanya, demi alasan ekonomi atau sekedar eksistensi diri.
Apalagi jika tekanan ekonomi ikut dimasukkan sebagai variabel pendukung. Tidak bisa diabaikan sebagai cateris paribus---istilah itu saya pelajari sewaktu kuliah dulu. Semua faktor kini saling berpengaruh sekecil apapun itu.
Apalagi secara sosial juga banyak hal yang mempengaruhi cara kita menghadapi kehidupan, konon lagi yang bekerja, sekedar bertahan hidup demi kebutuhan keseharian.
Belum lagi bicara soal teknologi komunikasi yang semakin memudahkan, namun juga memberi tantangan baru yang lebih rumit yang semakin "menjauhkan" antara anggota keluarga di sisi lainnya. Seperti sebuah pisau dengan kedua sisi yang sama tajam. Memberi ruang privasi yang makin besar, sehingga ruang untuk keluarga semakin jauh berkurang.
Tidak sedikit rumah tangga yang semua anggota keluarganya meskipun berada di rumah, namun memiliki keterbatasan berkomunikasi karena kepentingan sendiri-sendiri secara personal melalui gawainya, sehingga meski seisi rumah lengkap anggota keluarganya, tapi rumah terasa sunyi.
Malah ada yang saling berkomunikasi di dalam rumah saja harus pakai gawai. Begitu juga perubahan yang terjadi dalam urusan meja makan.
Semakin sulit rasanya "menyatukan" keinginan meskipun itu baik dan positif untuk merekatkan kasih sayang, membangun quality time, membangun komunikasi antar anggota keluarga di rumah sendiri. Bahkan ketika semua anggota keluarga berada dalam satu ruang yang sama, komunikasi itu tidak lagi seintens dulu. Tapi tentu tidak semua, tidak sedikit yang berhasil, meskipun tantangannya makin sulit.
Sekalipun pembiasaan dan kedisiplinan tetap dijaga, namun tingkat kesulitannya tidak main-main. Anak-anak sibuk dengan tugas sekolah, tugas kuliah, jaringan pertemanan, begitu juga dengan orang tua yang bekerja, sibuk dengan pekerjaan, tekanan kantor.Â
Jika tidak pun anak-anak lebih memilih bergabung dengan komunitasnya daripada memilih tinggal di rumah. Rumah semakin ditinggalkan hanya menjadi tempat singgah apalagi meja makan.
Saya sebisanya dari sekolah selalu berkomunikasi, siapa yang sudah di rumah, apakah sudah makan. Apa yang mereka makan, atau sekedar menyampaikan bahwa makan di rumah karena saya sudah memasak untuk mereka. Siapa yang masih berada di luar saat malam, jam berapa pulang. Semua kendali itu harus terus kita lakukan.
Meskipun tidak semua waktu makan bisa berkumpul, paling tidak dalam satu hari, makan malam masih bisa diandalkan menjadi "ruang curhat dan komunikasi". Satu waktu makan saja bisa menjadi penghubung jarak yang hilang saat pagi, dan siang. Usai makan masih bisa dimanfaatkan sebagai quality time, sebelum akhirnya sibuk lagi dengan kesibukan masing-masing.
Mungkin benar, setiap hal ada masanya, dan setiap masa mungkin ada hal baru yang bisa menjadi pembelajaran untuk kita. Tapi kita tetap tidak boleh menyerah, karena "meja makan" merupakan ruang sederhana yang tetap kita harapkan bisa menghangatkan keluarga dalam apapun sikonnya.