Begitu sepeda motor yang saya kendarai masuk komplek, Cek Man (54 tahun) selalu muncul menyapa ramah, "Pagi Ibu Rini, sehat hari ini Bu?" Siapapun disambut dengan cara yang sama---senyum dan teguran ramah sambil tangannya cekatan memarkir kendaraan.
Tanpa kita sadari seorang juru parkir bisa memiliki "brand" sebagai yang paling ramah di komplek, hanya karena ia selalu menyapa dengan senyum tulus. Lain lagi Mbok Sri, perempuan asal Pasuruan yang sudah lama merantau ke Sumatera, seorang penjual gorengan yang saya kenal karena "branding rasa"---tempe mendoannya konsisten gurih, tanpa perlu harus punya merek dan kemasan.
Tapi sebaliknya ada seorang content creator yang bersusah payah bisa viral karena kepribadian yang tampaknya apa adanya, tapi kemudian terbongkar bahwa semua itu hanya gimmick, hasil strategi tim kreatif di balik layar.
Jadi branding itu tidak melulu harus tentang kampanye besar, pakai agensi mahal. Pada akhirnya kita bisa memahami bahwa personal branding, sebenarnya tentang persepsi. Dan seperti kita tau persepsi, bisa dibentuk, dimanipulasi, tapi juga bisa lepas kendali.
Kadang kala kita seperti dipaksa atau didorong oleh diri sendiri karena ingin dianggap, lantas ikut-ikutan membangun citra diri. Apalagi di kekinian zaman yang dipenuhi viralitas media sosial yang tak henti memperbarui algoritma dan trennya. Tentu saja yang kita bangun ya versi diri yang kita harapkan bisa diterima, disukai, bahkan jika perlu versi diri yang paling bisa dijual.
Pernah dengar apa kalimat klasik yang sering dikutip Jeff Bezos ketika didaulat menjadi pembicara di seminar pengembangan diri? "Your brand is what people say about you when you're not in the room."Â
Bagi kita ungkapan itu seperti sebuah godaan agar kita tetap tidak melupakan citra diri yang sudah kita ciptakan dengan susah payah, sekalipun kita tidak ada hadapan mereka. Tapi apa kita yakin bisa sepenuhnya  mengontrol apa yang orang lain pikirkan agar seperti yang kita mau?
Membangun personal branding itu sebenarnya seperti kita berdiri di depan cermin, Â mengatur semua penampilan seperti maunya kita. Tapi yang kita lihat di cermin tetaplah pantulan, bukan diri kita yang sebenarnya.
Mengejar citra tanpa diimbangi jati diri ibarat menyiram tanaman plastik, memang indah kelihatannya, tapi tetap saja tak pernah tumbuh. Artinya bahwa citra bisa menipu kesan, Personal branding memang sering menjadi ruang bagi sebagian orang membentuk persepsi yang baik, tapi juga tetap menjaga agar bisa jujur dengan keadaan yang sebenarnya. Memang tidak mudah kan?
Menjadi Diri Sendiri Tapi yang Aesthetic, Bagaimana Caranya?
"Jadilah dirimu sendiri," nasehat yang klise itu di jaman sekarang tidak mudah dilakukan. Di media sosial, menjadi diri sendiri itu artinya kita juga harus melalui proses kurasi. Maksudnya kita mempertimbangkan sudut ambilan foto (angle), filter warna, kata-kata caption, bahkan ekspresi wajah pun harus "terlihat natural", karena natural pun kini bagian dari gaya yang diproduksi dan direkayasa.
Yah seperti yang kita tau, yang terjadi kemudian adalah personal branding menjelma menjadi teater. Kita semua aktor di panggung kecil berbingkai kaca---layar 6 inci bernama smartphone. Kita tampil sebagai versi terbaik dari diri sendiri, bukan karena munafik, tapi karena sistem menuntut begitu. Siapa yang bisa viral dengan wajah lelah dan pikiran kalut? Atau itu yang mau kita jual jadi personal branding---wajah memelas dan susah pun juga jadi barang dagangan alias komoditas.!
Di sinilah orang mulai merasa membangun personal branding ternyata memang menjadi beban baru. Kita harus menjadi FOMO agar tidak ketinggalan kabar terbaru. Rasa takut kehilangan momentum, takut tidak relevan, atau bahkan takut tidak "terlihat," dan memaksa kita terus bekerja menciptakan konten, dan menjaga persona demi orang lain. Semuanya bersangkut paut dengan media sosial, gaya hidup, dan juga tren visual yang mengikuti hidup kita setiap hari.
Lantas kita kemudian juga mempertanyakan kepada diri sendiri, apakah personal branding harus berseberangan dengan keaslian kita sendiri? Tidak juga ya, karena masalah yang kita hadapi sebenarnya bukan pada personal branding itu sendiri, tapi  karena branding mengambil alih kehidupan kita dan membuat kita tak menjadi diri sendiri.
Ketika kita memutuskan menjadi seorang musikus, kita bisa memilih untuk mengangkat isu-isu minoritas sebagai bagian dari personal brand-nya, karena memang itu yang ia perjuangkan. Tapi ia juga bisa saja hanya melakukannya karena sedang tren, karena hanya ingin terlihat progresif, tanpa benar-benar memahami atau terlibat. Semua pilihan itu tergantung pada masing-masing orang.
Sebenarnya di sinilah titik kritisnya, ketika personal branding yang kita bangun dan kita tampilkan justru tidak sesuai dengan apa yang kita rasakan.
Jika personal branding  begitu kompleks, apakah itu artinya kita harus menolak personal branding? Sebenarnya sih tidak harus begitu juga, karena seperti halnya teknologi, branding adalah alat. Ia bisa membantu kita dikenal, dipercaya, bahkan membuka peluang. Tapi seperti halnya pisau dapur, bisa bermanfaat jika dipakai untuk memasak, tapi menjadi ancaman berbahaya jika dipakai menusuk.
Itu artinya kita butuh pendekatan yang lebih sehat dalam membangun personal branding, bukan soal "menjual diri" tapi "merawat diri". Branding bukan tentang membentuk persona luar, tapi memperjelas nilai-nilai yang kita miliki dalam diri kita. Bukan soal "apa yang orang pikirkan tentangku," tapi "apa yang ingin aku bagikan ke dunia." Itu intinya.
Bahkan jika kita mau merenung sejenak, terkadang, bagian paling kuat dari personal branding kita yang bisa bernilai investasi jangka panjang, justru bukan dari apa yang kita tampilkan, tapi dari konsistensi tindakan yang kita lakukan dan bisa memberi dampak positif bagi orang lain. Dalam dunia yang riuh, kejujuran menjadi brand paling langka.
Dalam dunia di mana semua orang berlomba untuk tampil, kadang yang paling membekas justru mereka yang diam tapi nyata. Mereka yang tidak menjual citra, tapi menawarkan makna. Mereka yang tidak berteriak "lihat aku," tapi tetap dikenang karena kebaikannya, keahliannya, atau ketulusannya.
Saya teringat dengan buku Heroes karya Kick Andy yang menceritakan orang-orang berdedikasi dalam diam tanpa gembar-gembor tapi output-nya nyata, dampaknya bisa diterima dan orang lain merasakannya. Itu lebih penting daripada membangun personal branding tapi palsu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI