Selama tinggal di kampus kabar dan berita soal kekerasan yang dialami mahasiswa seolah sudah menjadi hal biasa meskipun bersifat kasuistis. Apalagi jika diatasnamakan hubungan antar pasangan. Kampus telah menjadi komunitas masyarakat tersendiri yang heterogen dan kompleks permasalahannya.
Keinginan menuliskan realitas ini sebenarnya karena keprihatinan melihat persoalan ini agak diabaikan karena dianggap menjadi persoalan yang bersifat personal. Kecuali jika kekerasan terlihat langsung oleh publik, barulah mendapat respon.
Pernah dalam dua kesempatan saya melihat sendiri, kasus kekerasan yang dialami mahasiswa. Atau kasus bunuh diri meskipun jarang terjai. Kita bisa mengaitkannya dengan masalah toxic relationship dari wujud kasusnya.
Sebenarnya yang bisa kita jadikan alasan yang tepat sebagai sumber terjadinya Toxic Relationship di kampus, Â salah satu akarnya karena budaya cuek, dan normalisasi kekerasan dalam relasi pacaran. Bukan sekali kita menyaksikan kekerasan verbal seperti makian, intimidasi emosional, pada intinya ancaman sering kali tidak dianggap serius selama belum ada luka fisik, sebelum jatuh korban.!
Apalagi para korban toxic relationship sebagiannya cenderung menyalahkan diri sendiri dan menganggap masalah itu bersifat personal. Mereka merasa malu untuk berbicara, khawatir dianggap lemah, atau takut kehilangan relasi sosial. Akibatnya stigma terhadap kesehatan mental justru memperparah kondisi ini. Tidak sedikit keluarga atau teman justru menyuruh bertahan saja daripada memberikan dukungan konkret yang bisa meringankan masalah.
Antara Isu Pribadi dan Problem Sosial
Kaitan toxic relationship dengan kesehatan mental sebenarnya harus dipahami bukan sekadar isu pribadi, melainkan problem sosial yang kian mendesak sekarang ini. Apalagi mahasiswa dalam kelompok usia produktif ini sering mengalami tekanan. Â Mereka berada dalam titik rawan karena dalam fase transisi dari remaja ke dewasa yang rentan terhadap tekanan hidup, krisis identitas, dan tantangan emosional yang belum tentu mampu mereka kelola.
Sebenarnya banyak faktor yang diam-diam merusak kesehatan mental mahasiswa jika kita kaitkan dengan hubungan yang secara emosional, psikologis, bahkan fisik, bersifat merusak. Sayangnya, meski sering terjadi, kasusnya justru dianggap biasa bahkan sepele oleh sebagian besar masyarakat, termasuk si korban itu sendiri.
Dalam dunia ideal, hubungan romantis mestinya menjadi tempat tumbuh dan saling mendukung. Tapi kenyataannya kan tidak selalu begitu. Realitas malah menunjukkan banyak mahasiswa justru terjebak dalam hubungan yang manipulatif, penuh kontrol, merendahkan martabat, bahkan mengarah pada kekerasan. Dalam sejumlah kasus, pelaku toxic relationship kerap berlindung di balik dalih "cinta"---yang sejatinya hanya menyamarkan dominasi dan kecemasan.
Akibat dibutakan cinta, kekerasan yang diterima dianggap sebagai bagian dari pengorbanan. Semakin banyak berkorban semakin besar wujud cinta itu. Artinya bahwa kekerasan tidak hanya berwujud bentakan atau ancaman tapi juga dalam bentuk kontrol terhadap pergaulan pasangan, pelarangan terhadap kegiatan akademik, hingga gaslighting---strategi psikologis untuk membuat korban meragukan kewarasan dan persepsinya sendiri.
Dengan cara berpikir yang salah tersebut, banyak mahasiswa yang tidak menyadari mereka tengah berada dalam hubungan toksik. Tidak jarang, perasaan cinta, ketergantungan emosional, atau ketakutan ditinggalkan, membuat mereka bertahan dalam relasi yang menyiksa tersebut tanpa merasa sebagai tekanan yang besar. Ditambah dengan minimnya dukungan sosial dan stigma terhadap masalah hubungan, korban kian merasa terisolasi.
Ancaman Psikologis yang Berbahaya
Sebenarnya dalam kasus yang lebih kompleks, dampak toxic relationship terhadap kesehatan mental mahasiswa sangat nyata. Banyak yang mengalami stres berkepanjangan, gangguan kecemasan, depresi, bahkan burnout akademik. Lebih jauh, gangguan mental ini juga berdampak pada performa belajar, kualitas relasi sosial, hingga kesehatan fisik.