Ketika kita memutuskan menjadi seorang musikus, kita bisa memilih untuk mengangkat isu-isu minoritas sebagai bagian dari personal brand-nya, karena memang itu yang ia perjuangkan. Tapi ia juga bisa saja hanya melakukannya karena sedang tren, karena hanya ingin terlihat progresif, tanpa benar-benar memahami atau terlibat. Semua pilihan itu tergantung pada masing-masing orang.
Sebenarnya di sinilah titik kritisnya, ketika personal branding yang kita bangun dan kita tampilkan justru tidak sesuai dengan apa yang kita rasakan.
Jika personal branding  begitu kompleks, apakah itu artinya kita harus menolak personal branding? Sebenarnya sih tidak harus begitu juga, karena seperti halnya teknologi, branding adalah alat. Ia bisa membantu kita dikenal, dipercaya, bahkan membuka peluang. Tapi seperti halnya pisau dapur, bisa bermanfaat jika dipakai untuk memasak, tapi menjadi ancaman berbahaya jika dipakai menusuk.
Itu artinya kita butuh pendekatan yang lebih sehat dalam membangun personal branding, bukan soal "menjual diri" tapi "merawat diri". Branding bukan tentang membentuk persona luar, tapi memperjelas nilai-nilai yang kita miliki dalam diri kita. Bukan soal "apa yang orang pikirkan tentangku," tapi "apa yang ingin aku bagikan ke dunia." Itu intinya.
Bahkan jika kita mau merenung sejenak, terkadang, bagian paling kuat dari personal branding kita yang bisa bernilai investasi jangka panjang, justru bukan dari apa yang kita tampilkan, tapi dari konsistensi tindakan yang kita lakukan dan bisa memberi dampak positif bagi orang lain. Dalam dunia yang riuh, kejujuran menjadi brand paling langka.
Dalam dunia di mana semua orang berlomba untuk tampil, kadang yang paling membekas justru mereka yang diam tapi nyata. Mereka yang tidak menjual citra, tapi menawarkan makna. Mereka yang tidak berteriak "lihat aku," tapi tetap dikenang karena kebaikannya, keahliannya, atau ketulusannya.
Saya teringat dengan buku Heroes karya Kick Andy yang menceritakan orang-orang berdedikasi dalam diam tanpa gembar-gembor tapi output-nya nyata, dampaknya bisa diterima dan orang lain merasakannya. Itu lebih penting daripada membangun personal branding tapi palsu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI