Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Jeff Bezos hingga Juru Parkir, Siapa Bilang Personal Branding Butuh Panggung?

25 Juni 2025   22:52 Diperbarui: 25 Juni 2025   22:52 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bezos di gudang amazon-mariagreen cleaning

Begitu sepeda motor yang saya kendarai masuk komplek, Cek Man (54 tahun) selalu muncul menyapa ramah, "Pagi Ibu Rini, sehat hari ini Bu?" Siapapun disambut dengan cara yang sama---senyum dan teguran ramah sambil tangannya cekatan memarkir kendaraan.

Tanpa kita sadari seorang juru parkir bisa memiliki "brand" sebagai yang paling ramah di komplek, hanya karena ia selalu menyapa dengan senyum tulus. Lain lagi Mbok Sri, perempuan asal Pasuruan yang sudah lama merantau ke Sumatera, seorang penjual gorengan yang saya kenal karena "branding rasa"---tempe mendoannya konsisten gurih, tanpa perlu harus punya merek dan kemasan.

Tapi sebaliknya ada seorang content creator yang bersusah payah bisa viral karena kepribadian yang tampaknya apa adanya, tapi kemudian terbongkar bahwa semua itu hanya gimmick, hasil strategi tim kreatif di balik layar.

Jadi branding itu tidak melulu harus tentang kampanye besar, pakai agensi mahal. Pada akhirnya kita bisa memahami bahwa personal branding, sebenarnya tentang persepsi. Dan seperti kita tau persepsi, bisa dibentuk, dimanipulasi, tapi juga bisa lepas kendali.

Kadang kala kita seperti dipaksa atau didorong oleh diri sendiri karena ingin dianggap, lantas ikut-ikutan membangun citra diri. Apalagi di kekinian zaman yang dipenuhi viralitas media sosial yang tak henti memperbarui algoritma dan trennya. Tentu saja yang kita bangun ya versi diri yang kita harapkan bisa diterima, disukai, bahkan jika perlu versi diri yang paling bisa dijual.

Pernah dengar apa kalimat klasik yang sering dikutip Jeff Bezos ketika didaulat menjadi pembicara di seminar pengembangan diri? "Your brand is what people say about you when you're not in the room." 

Bagi kita ungkapan itu seperti sebuah godaan agar kita tetap tidak melupakan citra diri yang sudah kita ciptakan dengan susah payah, sekalipun kita tidak ada hadapan mereka. Tapi apa kita yakin bisa sepenuhnya  mengontrol apa yang orang lain pikirkan agar seperti yang kita mau?

Membangun personal branding itu sebenarnya seperti kita berdiri di depan cermin,  mengatur semua penampilan seperti maunya kita. Tapi yang kita lihat di cermin tetaplah pantulan, bukan diri kita yang sebenarnya.

Mengejar citra tanpa diimbangi jati diri ibarat menyiram tanaman plastik, memang indah kelihatannya, tapi tetap saja tak pernah tumbuh. Artinya bahwa citra bisa menipu kesan, Personal branding memang sering menjadi ruang bagi sebagian orang membentuk persepsi yang baik, tapi juga tetap menjaga agar bisa jujur dengan keadaan yang sebenarnya. Memang tidak mudah kan?

bezos di gudang amazon-mariagreen cleaning
bezos di gudang amazon-mariagreen cleaning

Menjadi Diri Sendiri Tapi yang Aesthetic, Bagaimana Caranya?

"Jadilah dirimu sendiri," nasehat yang klise itu di jaman sekarang tidak mudah dilakukan. Di media sosial, menjadi diri sendiri itu artinya kita juga harus melalui proses kurasi. Maksudnya kita mempertimbangkan sudut ambilan foto (angle), filter warna, kata-kata caption, bahkan ekspresi wajah pun harus "terlihat natural", karena natural pun kini bagian dari gaya yang diproduksi dan direkayasa.

Yah seperti yang kita tau, yang terjadi kemudian adalah personal branding menjelma menjadi teater. Kita semua aktor di panggung kecil berbingkai kaca---layar 6 inci bernama smartphone. Kita tampil sebagai versi terbaik dari diri sendiri, bukan karena munafik, tapi karena sistem menuntut begitu. Siapa yang bisa viral dengan wajah lelah dan pikiran kalut? Atau itu yang mau kita jual jadi personal branding---wajah memelas dan susah pun juga jadi barang dagangan alias komoditas.!

Di sinilah orang mulai merasa membangun personal branding ternyata memang menjadi beban baru. Kita harus menjadi FOMO agar tidak ketinggalan kabar terbaru. Rasa takut kehilangan momentum, takut tidak relevan, atau bahkan takut tidak "terlihat," dan memaksa kita terus bekerja menciptakan konten, dan menjaga persona demi orang lain. Semuanya bersangkut paut dengan media sosial, gaya hidup, dan juga tren visual yang mengikuti hidup kita setiap hari.

Lantas kita kemudian juga mempertanyakan kepada diri sendiri, apakah personal branding harus berseberangan dengan keaslian kita sendiri? Tidak juga ya, karena masalah yang kita hadapi sebenarnya bukan pada personal branding itu sendiri, tapi  karena branding mengambil alih kehidupan kita dan membuat kita tak menjadi diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun