Saya dulu ingin sekali melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di bidang jurnalistik publisistik atau sastra Inggris, sehingga jurusan bahasa mestinya menjadi pilihan utama, tapi karena alasan nilai eksakta tinggi, akhirnya dengan setengah memaksa wali kelas memasukkan saya ke jurusan IPA-Biologi.
Waktu itu rasanya sedih bercampur bingung. Sedih karena tidak masuk jurusan favorit, bingung karena tidak kuasa menolaknya. Apalagi orangtua juga sependapat bahwa jurusan IPA adalah jurusan "anak-anak pintar."
Pengalaman itu menjadi pembelajaran sehingga ketika kemudian menjadi guru, saya memilih untuk bersikap fleksibel dan memberi arahan dan dukungan secara persuasif untuk memastikan pilihan mereka memang sesuai kapasitas dan passionnya. Â Barangkali itu sekelumit cerita ketika bernostalgia di era penjurusan masih ada.
Penjurusan di SMA, Solusi, Tantangan, atau Langkah Mundur?
Jika kita kaitkan kebijakan penjurusan di SMA dan urgensinya dalam konteks dunia kerja, karier, dan daya saing persoalannya akan menjadi tidak sederhana. Dunia semakin membutuhkan kemampuan lintas ilmu. Apakah penjurusan nantinya bisa mengakomodir kebutuhan tersebut?.
Bagi sebagian besar remaja Indonesia, waktu pertama kali harus memilih jurusan di SMA menjadi momen--titik krusial---semacam "tanda tangan kontrak masa depan" yang dilakukan bahkan sebelum mereka cukup umur untuk membuat KTP.
Dalam kondisi yang penuh tekanan, banyak siswa dihadapkan pada pilihan jurusan IPA, IPS, atau Bahasa, bukan berdasarkan pemahaman mendalam akan minat dan bakat mereka, tetapi karena tekanan sosial, ekspektasi orangtua, atau stereotip prestise jurusan tertentu.
Setelah penjurusan sempat ditiadakan karena kehadiran Kurikulum Merdeka, wacana mengembalikannya kembali mencuat. Pertanyaannya, di tengah tantangan daya saing global, perubahan dunia kerja, dan kebutuhan akan sumber daya manusia yang adaptif dan kreatif, apakah kebijakan ini masih relevan? Atau justru menghambat fleksibilitas siswa dalam mengenal dan mengembangkan potensinya?
Dalam dunia yang berubah cepat, pilihan karier tidak lagi linier sebagaimana era sebelumnya. Seseorang bisa saja memulai karier sebagai insinyur, lalu beralih menjadi analis data, dan kemudian membuka bisnis kuliner berbasis teknologi.Â
Model kerja masa kini menuntut keterampilan lintas disiplin, kemampuan berpikir kritis, dan kreativitas tinggi. Oleh karena itu, mengkotak-kotakkan siswa dalam jurusan sejak dini menjadi pertanyaan besar dari sisi urgensi dan relevansinya.
Saya termasuk lulusan yang kuliah di fakultas non kependidikan, tapi pada akhirnya terdampar menjadi guru.
Jika kita runut kembali latar belakang kehadiran sistem penjurusan, sebenarnya lahir dari semangat efisiensi. Agar siswa bisa mendalami bidang yang dianggap sesuai dengan kemampuan akademik mereka, dan mempersiapkan mereka masuk ke jalur pendidikan tinggi atau karier tertentu.
Tapi sayang dalam praktiknya, penjurusan sering kali justru mempersempit ruang eksplorasi dan menciptakan stigma sosial---seperti anggapan bahwa IPA adalah jurusan untuk anak "pintar", sedangkan IPS atau Bahasa untuk siswa yang "tidak cukup unggul" secara akademik.