Budaya membaca adalah kebiasaan atau pola perilaku dalam membaca yang diterapkan secara luas dalam suatu masyarakat. Budaya ini penting karena berperan besar dalam pengembangan intelektual individu. Di era informasi dan digital saat ini, membaca tidak hanya terbatas pada buku cetak, tetapi juga mencakup media digital seperti e-book, artikel online, dan media sosial.
Namun bagi kalangan pendidik saja persoalan membiasakan diri membaca sebagai cara bisa memperkaya referensi bahan menulis masih belum selesai. Seperti sebuah potongan opini di kompas 16 Mei 2022 berjudul; Guru dan Buku-buku yang Tak Perlu. Narasi pembukanya cukup menarik.
Tak sedikit guru yang menulis buku demi menambah poin kredit sehingga mengabaikan kualitas dan proses yang benar. Untuk memajukan literasi baca, memotivasi guru membaca jauh lebih penting dan mendesak daripada menulis.
”Sahabatku Max yang baik,” tulis pria sekarat itu. ”Permohonanku yang terakhir ialah supaya semua karyaku, begitu juga buku catatan, naskah-naskah, serta surat-surat ... bakar sajalah supaya jangan terbaca lagi. Yang ada pada orang lain minta saja supaya mereka bakar sendiri.”
Itu adalah kata-kata Franz Kafka, seperti dikisahkan oleh Wilson Nadeak (1984:11). Kafka selalu merasa karyanya tidak pernah ditulis dengan baik. Oleh beberapa orang dia dianggap kritikus yang kejam atas karya-karyanya sendiri. Untungnya, Max Brod, sahabat yang disebutnya itu, tidak melaksanakan apa yang diminta Kafka. Kalau semua karya itu dibakar, maka publik secara luas tidak bisa menikmati apa yang ditulis Kafka.
Begitulah seorang penulis "memahami" bagaimana hasil karya mereka. Meski sudah sangat baik pun ia masih merasa "kurang". Barangkali itu juga yang terjadi pada banyak penulis. Kekurangan bahan bacaan--karena membaca masih belum menjadi budaya yang intens menyebabkan banyak pendidik seperti saya masih belum sepenuhnya tertarik untuk menulis karena masih merasa kurang.
Apalagi yang merasa tidak memilik banyak bacaan sehingga kadang kala merasa tulisannya tidak berbobot, bahkan mungkin dianggap buruk, sehingga kemudian memilih untuk tidak menulis. Apalagi ditambah merasa tidak memiliki bakat. Meskipun hal itu masih bisa diperdebatkan karena menulis bisa menjadi lancar jika terus dilatih.
Namun persoalannya adalah karena membaca dan menulis dua bagian dari literasi itu memang belum menjadi bagian dari kebiasaan banyak orang, termasuk juga di kalangan pendidik.
Kita masih membutuhkan banyak stimulasi dan juga motivasi. Memang harus diawali dari adanya inisiatif, barulah bisa memancing motivasi. Kompasiana sebagai ruang menulis menjadi salah satu yang bisa menstimulasi kita untuk berkarya melalui tulisan. Dimulai dari adanya inisiatif, stimulasi dari ruang menulis, barulah kita bisa termotivasi untuk menulis.
Dalam urusan membaca yang memungkinkan akses pada informasi penting yang bisa memberdayakan individu, ternyata menurut laporan UNESCO 2016, indeks literasi Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 77 negara dalam hal kemampuan membaca.
Budaya membaca di Indonesia masih terbilang rendah. Rata-rata orang Indonesia membaca kurang dari 3-4 buku per tahun, yang jauh di bawah standar negara-negara maju. Minat baca di Indonesia juga terhambat faktor infrastruktur, seperti minimnya akses ke perpustakaan di daerah terpencil.
Ternyata pekerjaan rumah kita masih besar dalam urusan mengajak orang untuk membaca, apalagi menulis. Namun tidak ada salahnya kita memulai menulis sekalipun daftar bacaan kita belum banyak. Setidaknya dengan memulai menulis siapa tahu bisa memancing keinginan untuk membangkitkan "rasa ingin tahu" dengan memulai membaca untuk memperkaya tulisan.
Apalagi seperti di ruang kompasiana, tidak ada judgment-pengadilan atas tulisan dalam apapun bentuknya selama tidak melanggar aturan seperti sara dan hal sensitif lainnya. Selain itu apapun bentuk tulisan kita walaupun sederhana memiliki tampat tampungan dalam akun personal yang dimiliki masing-masing kompasianer.
Siapapun bisa dan berhak menulis. Dan melalui proses pembelajaran yang terus menerus-konsisten, setiap orang bisa menjadi penulis yang lebih baik.