Mohon tunggu...
Rini Wulandari
Rini Wulandari Mohon Tunggu... Guru - belajar, mengajar, menulis

Guru SMAN 5 Banda Aceh http://gurusiswadankita.blogspot.com/ penulis buku kolaborasi 100 tahun Cut Nyak Dhien, Bunga Rampai Bencana Tsunami, Dari Serambi Mekkah Ke Serambi Kopi (3), Guru Hebat Prestasi Siswa Meningkat

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Benarkah Banyak dari Kita Ternyata "Nimbies"?

9 Januari 2024   12:17 Diperbarui: 11 Januari 2024   17:12 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi orang membuang sampah dari mobil sumber gambar GRID oto.com

"Buang aja di kebun samping, kan kosong belum ada yang tinggal". "Lempar aja keluar, bikin kotor mobil aja!".  "Udah buang aja bungkus permennya, ngapain di kantongin!, kan cuma bungkus permen!".

Membuang sampah tak boleh sembarangan, harus dibuang pada tempatnya, kalau perlu dipilah, rasanya sebagian besar kita tahu soal itu. Tapi bagaimana prakteknya?. Tunggu dulu. 

Mungkin ada sebagian kita yang menganggap kejadian diatas, membuang sampah dari halaman rumah kita, meskipun cuma rumput ke halaman rumah tetangga (meski kosong) adalah hal biasa. Padahal sejatinya itu juga datang dari pikiran kita yang keliru memahami soal kebersihan atau memang tak peduli soal dimana sampah semestinya harus dibuang.

Pola pikir yang menganggap bahwa rumah milik sendiri harus bersih dari sampah, sampah tak boleh ada di dalam atau disekitar rumah, sedangkan di luar, itu kan urusan masing-masing orang, tergantung kesadaran masing-masing.

Ini adalah bibit NIMBY, "Not in my back yard", maksudnya?.

Ketika kita berpikir bahwa hanya halaman rumah kita yang mesti kita pedulikan, sementara yang lainnya bukan urusan kita adalah gejala NIMBY. Gejala ketika kita menganggap bahwa tanggung jawab kita mengurus sampah selesai hanya pada lingkungan kita sendiri, hanya pada diri sendiri.

warga membuang sampah sembarangan di depan petugas sampah yang sedang membersihkan saluran sumber foto nasional kompas,com
warga membuang sampah sembarangan di depan petugas sampah yang sedang membersihkan saluran sumber foto nasional kompas,com

Kesadaran yang "cuek bebek" terhadap lingkungan ini  sangat buruk dalam usaha kita membangun kesadaran bersama mengatasi sampah, kebersihan lingkungan dan kelestarian lingkungan dalam kaitannya yang lebih besar.


Maka tak heran, jika kita masih melihat orang dengan seenaknya membuang sampah dari mobil dengan alasan tempat membuang sampahnya adalah pinggir jalan tol yang kosong tak ada perumahan. Tapi, benarkah begitu?.

Pernah lihat sebuah iklan di tivi, ketika seorang pengendara mobil membuang sampah plastik itu melayang terbang entah kemana, hingga suatu saat kembali menghantam mukanya saat ia sedang berkendara.

Iklan itu merupakan sebuah ejekan satir tentang seseorang yang membuang sampah sembarangan, dan pada akhirnya sampah itu "kembali" lagi padanya.

Kembalinya sampah bisa dimaknai sebagai "dampak" yang bisa rasakan di kemudian hari setelah sampah itu dibuang, tapi juga tak salah jika dimaknai seperti apa yang kita lihat di iklan, langsung kembali ke si pembuang sampah dan mengenai mukanya.

Ilustrasi seorang pengemudi mobil membuang sampah sembaranga sumber gambar carmudi
Ilustrasi seorang pengemudi mobil membuang sampah sembaranga sumber gambar carmudi

Benarkah Kita Sebenarnya NIMBY 

Menurut Ris Sukarma, ini bukan nama pesawat antariksa dari film fiksi ilmiah, tapi singkatan dari "not in my backyard" arti harfiahya "tidak di halaman sendiri". Kalimat ini sering digunakan dalam kaitannya dengan sikap atau pandangan orang terhadap sesuatu yang bukan urusannya.

Kalimat ini dalam kosa kata bahasa Indonesia mungkin bisa dipadankan dengan sikap EGP (emangnya gua pikirin?). 

Para environmentalist--ahli lingkungan paling sering menggunakan istilah NIMBY ketika menilai sikap orang yang tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya, sepanjang hal itu tidak mengganggu dirinya, atau tidak berkaitan dengan dirinya. 

Namun sebenarnya istilah NIMY ini jauh dari makna kosakata yang kini populer di gunakan. Fenomena NIMBY ditemukan di seluruh dunia. Orang yang mengidap sindrom NIMBY terkadang disebut ''nimbies''. 

Frasa ini mengacu pada individu atau kelompok orang yang menentang berbagai jenis pembangunan di komunitasnya karena mereka yakin pembangunan tersebut berbahaya atau tidak diinginkan. Dan mereka tidak peduli jika proyek itu dilakukan ditempat lain, tapi bukan di tempatnya!.

Seiring waktu pemahaman orang dalam menggunakan frasa tersebut berubah menjadi sesuatu yang lebih praktis dan membumi dalam kehidupan keseharian. 

Sesederhana seperti orang membuang sampah dari mobil karena tak mau mobilnya kotor dan bersemut karena sampah tersebut.

Dalam keseharian kita, banyak dari kita yang tanpa kita sadari masih memiliki pola pikir NIMBY, misalnya dengan membuang plastik bungkus permen karena kita berpikir cuma "sampah kecil" yang mungkin berkontribusi kecil bagi sampah kita.

Padahal dari sanalah bibit NIMBY itu bisa tumbuh menjadi pola perilaku yang buruk dalam mengatasi persoalan lingkungan yang lebih besar. 

Seperti ketika kita berpikir bahwa jika sampah disingkirkan dari rumah kita, kita tak peduli mau dibuang dimana sampah itu nantinya (mungkin ke sungai).

Dalam konteks yang lain, perilaku NIMBY juga bisa menular ke dalam pola pikir kita dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. 

Selama masalah itu selesai, dan selama dampaknya tidak dilihat atau dirasakannya lagi itu menjadi bukan urusan saya. Selama itu "not in my backyard--tidak lagi berada di halaman rumah saya".

Mencoba "Melawan" NIMBY

Membangun kesadaran itu butuh proses, dan sayangya juga tidak sederhana dan butuh waktu. 

Namun seperti kata James Clear seorang pengarang buku best seller, kita butuh cara-cara praktis untuk membangun kebiasaan yang kuat, mengubah kebiasaan yang buruk, dan akhirnya mencapai hasil yang diinginkan dari kebiasaan yang kecil terlebih dahulu.

Misalnya tidak membuang sisa permen karet sembarangan, gunakan kertas pembungkusnya sebagai tempat membuangnya nanti, sehingga simpan dulu lembaran kertas pembungkus permen karet karena bisa bermanfaat kemudian.

Atau menyimpan sampah kecil bekas bungkus permen, snack di kantong atau tas sebelum menemukan tempat sampahnya.

Menyediakan wadah sampah kecil bertutup dikendaraan sebagai tempat pembuangan sampah sementara agar kendaraan tetap bersih.

Melalui kebiasaan kecil itu bisa menumbuhkan dan membangun mindset putera-puteri kita, karena contoh baik pada hal-hal kecil akan menjadi bagian dari "proses" membantuk pola pikir positif dalam pengelolaan sampah kita. 

Termasuk ketika mereka berhadapan dengan masalah-masalah besar yang lebih kompleks dalam kehidupan mereka. Termasuk masalah sosial, sebagai bagian dari bentuk "kepedulian".

Orang tua yang dianggap berhasil umumnya selain dimulai dari membangun sikap disiplin, tegas,  juga memberi contoh langsung yang baik. 

Bayangkan jika kita memarahi anak gara-gara main game online di gadget, sementara kita sebagai orang tua seharian ayik bermain game di depan anak-anak, tentu menjadi contoh yang membingungkan. 

Meskipun alasan kita bisa saja, "nanti kalau sudah besar,, nanti kalau sudah bisa cari uang sendiri baru boleh main sesukanya".

Anak yang cenderung berperilaku meniru menganggap perilaku orang tuanya sebagai standar yang bisa diikuti. 

Tanpa kesadaran yang dibangun sejak awal dan dari hal-hal kecil, bahkan denda atau hukuman tak membuat orang jera membuang sampah sembarangn.

The Sun, di Inggris melaporkan denda yang harus dibayar oleh pelanggar yang membuang sampah sembarangan sebesar 150 Poundsterling atau sekira Rp2,89 juta. Angka nominal tersebut naik hampir 50 persen dari aturan sebelumnya yang mengharuskan pelanggar membayar 80 Poundsterling atau Rp1,5 jutaan.

Berdasarkan hasil penelitian Automobile Association satu dari tujuh penumpang mobil mengaku telah membuang sampah di jalan raya sebanyak 200 ribu karung dalam satu tahun. Wujud sampahnya, dari gelas kertas bekas kopi, pembungkus makanan cepat saji. Maupun popok bayi dan puntung rokok.

Edmund King dari Automobile Association mengatakan "Sampah yang berasal dari dalam mobil dapat merusak lingkungan, menghabiskan jutaan dolar dan membahayakan pekerja jalan ketika mereka membersihkannya,".

Sedangkan di negara kita, ketentuan mengenai larangan membuang sampah sembarangan tertuang di dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pasal 29 Ayat 1 huruf e menegaskan, setiap orang dilarang membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan. 

Membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan ini termasuk juga ke saluran air, sungai atau tempat lainnya yang bukan ditujukan untuk pembuangan sampah. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008, sampah yang telah dikumpulkan harus dikumpulkan ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu.

Seperti contoh, pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta yang menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah sebagaimana telah diubah dengan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2019. 

Menurut Perda ini, setiap orang yang dengan sengaja atau terbukti membuang, menumpuk sampah dan/atau bangkai binatang ke sungai/kali/kanal, waduk, situ, saluran air limbah, di jalan, taman,atau tempat umum, dikenakan uang paksa paling banyak Rp 500.000.

Pada intinya meskipun NIMBY terlihat sederhana, namun itu bagian dari sebuah skema besar kita membangun pola pikir, kesadaran, dimulai dari hal kecil (sampah plastik permen), dari perilaku sederhana (menyimpan sampah permen dikantong sebelum menemukan tempat sampah), dan dari diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun