Mohon tunggu...
rindu aksara
rindu aksara Mohon Tunggu... Lainnya - Wordsmith

I am somewhat ink on paper

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Wedang Lombok Uyut Wondo

12 November 2022   16:00 Diperbarui: 12 November 2022   15:59 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kupeluk erat cangkir enamel blirik berwarna hijau-putih dengan kedua telapak tanganku yang tertangkup. Menanti rasa hangat dari seduhan air panas di dalam cangkir itu merambati jari-jariku dan menjalar ke seluruh tubuhku.

Uap air masih mengepul-kepul dari dalam cangkir. Kubiarkan titik-titiknya hinggap di kulit pipiku. Sambil menikmati indera peraba yang perlahan mulai bangkit lagi, setelah sesaat lalu hampir tumpul karena dikepung hawa dingin.

Dari jendela ruang keluarga di Duffesbachstrasse nomor 10, Koeln, kuamati salju yang sedang turun. Sore ini lebih lebat dari biasanya.  Trotoar dengan cepat dipenuhi tumpukan serupa kapas putih bergebung-gebung. Beberapa cekungan disana-sini mulai diselimuti lapisan es tipis.

Dan dingin ini pun makin menusuk, menembus kulit dan tulang. Seakan melambatkan degup jantungku.  Aku yang tak pernah terbiasa dengan musim dingin, lalu menaruh harap pada secangkir air panas beraroma pedas manis dalam genggaman tanganku.

Kuhirup dalam-dalam uap air yang harum itu. Rasa hangat segera menjalari rongga hidung yang awalnya tersumbat. Plong. Seakan-akan ada jalan bebas hambatan yang lebar dan lengang menuju paru-paruku. Bahkan sakit kepalaku pun sedikit mereda. Enteng.

Sebentar lagi, akan kuseruput minuman dalam cangkir ini. Tapi tidak sekarang. Sekarang aku masih ingin menikmati uap panasnya, membaui aromatiknya, merasakan sensasi hangat yang masih agak menyengat kulit telapak tangan. Urusan meminumnya, itu ada waktunya. Sebentar lagi.

Pikiranku jadi melayang. Menurutku manusia itu terlalu terburu-buru dalam soal makan-minum. Segalanya harus tuntas dalam sekejap, karena dianggap efektif dan efisien. Tak ada waktu untuk menghargai proses makan dan minum sebagai suatu kenikmatan. Tak mau lagi menunggu agar inderanya memproses berbagai stimulan dalam hidangan secara satu-persatu, bergiliran. Makan-minum lalu menjadi kewajiban. Kalua bisa bahkan dilakukan sembari menyelesaikan pekerjaan. Multi-tasking istilahnya. Padahal, yang mereka lewatkan itu adalah anugerah kelezatan.

“Lagi ngga enak badan, Bu? Sind Sie kalt?” tanya Pandan. Rupanya anak gadisku menangkap aroma minuman itu, dan menemukanku meringkuk di sofa, tenggelam dalam balutan selimut akrilik tebal. Ia segera mendekati Heizung, radiator pemanas ruangan. Memutar kenopnya hingga indikator berhenti di angka 3, Pandan membuat ruangan menjadi lebih hangat.

Aku hanya tersenyum sambil masih memejamkan mata. Tak mengangguk apalagi bersuara menjawab pertanyaannya. Bukannya tak acuh. Tapi pertanyaan itu retorika saja. Pandan sudah hafal kebiasaan ibunya. Jika musim dingin memasuki puncaknya, selalu ada momen dimana ibu berkemul dan menyeduh minuman andalannya.

“Mau diambilin jamu sirup anti masuk angin dalam saset?” Pandan masih menawarkan pertolongannya. 

Lagi-lagi aku tak menjawab. Toh Pandan sudah tau jawabannya. Aku tidak suka makanan dan minuman instan, bahkan jamu sekalipun. Percakapan ini sesungguhnya hanya ungkapan kasih sayang seorang anak kepada ibunya. Makna yang dipertukarkan bukan sekadar kata-kata, melainkan perhatian.

“Terimakasih, mbak. Enggak. Tapi Ibu mau ditemenin. Sini…” aku menyibak selimut tebal itu sedikit, mengedikkan kepalaku ke kanan, mengisyaratkan agar Pandan ikut berselimut denganku. Dan kami pun meringkuk bersebelahan.

“Repot amat sih bu, masih bikin wedang segala. Hari gini kan udah ada jamu sirup anti masuk angin dalam saset. Sie koennen es trinken. Es ist einfach praktisch.”

Sejujurnya, kami berdua sudah berulangkali menjalani percakapan serupa. Selama ini, aku hanya menegaskan kalua ibunya Pandan tidak mau menenggak makanan atau minuman instan, terutama jamu. Tapi aku baru menyadari, bahwa aku tidak pernah menjelaskan mengapa.

Sepertinya, dalam benakku, Pandan masih saja kanak-kanak. Padahal dia sudah duduk di Friedrich-Ebert Realschule, setara SMP di Indonesia. Usianya pun sudah belasan. Apakah aku yang menolak menerima kenyataan, bahwa ia sudah beranjak remaja? Ah, waktu memang tak bisa dikemudikan. Ia berjalan sekehendaknya saja, di luar keinginan kita.

Sambil tersenyum, aku bersiap menjelaskan pada Pandan. Menatap matanya yang coklat gelap itu, mengumpulkan akal sehat. Mencoba memberi pengertian mengapa ibunya Pandan tak mau minum jamu kemasan.

“Dulu, ketika masih SMP-SMA, sehari-hari Ibu lebih banyak diasuh oleh buyutmu, Eyang Uyut Wondo. Karena nenekmu, Uti Iik, sedang sibuk menyelesaikan studi S2-nya di Depok sekaligus mengajar di Jakarta. Uyut seakan-akan menjadi ibu kedua untuk Ibu. Selain memori tantang Uti Iik, kebiasaan Uyut Wondo juga jadi kenangan manis untuk ibumu ini.

“Masa itu, Ibu selalu pergi-pulang sekolah naik kendaraan umum. Kopaja 613 jurusan Saharjo-Cawang UKI. Atau Metromini 610 jurusan Saharjo-Kampung Melayu. Mikrobis itu lama sekali jalannya, seringkali berhenti di pinggir jalan dekat pasar dan sekolahan, menunggu penumpang. Istilahnya ngetem. Belum lagi harus nyambung mikrolet M18 atau M04 untuk menuju kompleks rumah. Biasanya sekitar satu jam kemudian barulah Ibu sampai.”

Aku jadi tersenyum, membayangkan masa-masa remaja itu. Sebenarnya naik kendaraan umum yang memakan waktu lama tidak menjadi beban bagiku, karena aku selalu pulang bareng sahabat-sahabatku. Ngobrol ngalor ngidul, membuat terminal Kampung Melayu tiba-tiba sudah di depan mata. Kukirimkan rindu untukmu Ashley, Wenny, Anna, Novi dan Duma.

“Ketika musim hujan, barulah jadi perkara. Karena menunggu datangnya si 610 atau 613 itu lama, tak ada jadwal pastinya seperti bus Deutsche Bahn disini. Sudahlah lama menunggu di halte dalam kondisi basah kuyup akibat hujan, lama pula perjalanannya. Sampai rumah biasanya Ibu sudah kedinginan hingga masuk angin.

“Uyut Wondo sudah tau kalua cuaca hujan, mesti cucunya pulang dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan. Jika dibiarkan, bisa-bisa kena selesma. Kalau satu saja penghuni rumah sudah terjangkit virus itu, bisa menulari yang lainnya. Jadi, Uyut akan memasak air hangat untuk Ibu mandi, dan menyiapkan wedang lombok ini.”

 Mengatakan hal itu, memoriku seakan mewujud menjadi nyaris nyata. Rasanya seperti aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Uyut Wondo dalam daster batiknya berada di dapur. Tangannya yang keriput menuangkan air mendidih dari ceret ke dalam gelas enamel blirik berwarna hijau-putih berisi potongan bumbu dapur.

Tiga buah cabai merah dipotong memanjang, sebuah cabai rawit merah berukuran besar dibelah dua, sesiung besar bawang merah dikupas kulit keringnya dan digeprek dengan muntu batu hingga keluar minyaknya, segumpal asam jawa,  sekeping bunga lawang, sebatang kayu manis sepanjang dua ruas jari, sebutir kapulaga dan sebongkah gula merah. Semuanya dimasukkan dalam gelas blirik, lantas diseduh air mendidih. Wedang Lombok Uyut Wondo minuman itu dinamainya.

Sebenarnya, resep minuman jawa ini tidak otentik-otentik amat. Karena tidak ada pakemnya, bahan apa saja yang boleh atau tidak boleh digunakan. Apalagi takarannya, tentu saja tidak ada gramasinya. “Met gevoel’, kata Uyut Wondo yang pandai berbahasa Belanda itu sambil tertawa.

Resep ini justru hebat karena sederhana, bahannya bisa apa saja yang tersedia, luwes menyesuaikan dengan isi dapur. Justru karena fleksibel, wedang ini mudah dibikin personal. Berbeda dari satu dapur ke dapur lainnya, dari satu tangan ke tangan lainnya. Dari satu selera ke selera lainnya. Menjelma menjadi kenangan unik tiada duanya.

Ya, segala bisa. Tapi tentu tidak asal saja, janganlah semua rupa bumbu masak dimasukkan dalam cangkir. Ada koridor rasa yang harus tetap dijaga. Keseimbangan antara kesederhanaan bahan dan rasa yang dihasilkan itulah yang menjadi ukuran kelezatan dan khasiat wedang lombok ini. Dan Uyut Wondo berhasil memasukkan kepribadian dalam wedang buatannya.

Aku seakan mendengar Uyut Wondo berkata, “Cabe merah, rawit dan asam jawa banyak mengandung vitamin C yang berguna untuk menaikkan imunitas tubuh. Minyak esensial dalam bawang merah ampuh membunuh virus. Bunga Lawang, kayu manis dan kapulaga bersifat hangat, mencegahmu merasa kedinginan. Gula jawa untuk energi.

“Air seduhan cabe yang bertemu minyak esensial bawang merah sebenarnya rasanya tidak enak. Kita mengenal rasa itu untuk makanan, tapi tidak familier untuk dijadikan minuman. Asam jawa mampu melembutkan rasa tak enak itu, tapi tak semua orang senang minuman bercita rasa asam. Perlu yang manis untuk penawar. Gula jawa lebih baik dari gula tebu, indeks glikemiknya lebih rendah. Sementara bahan-bahan yang lainnya, jika terkena panas akan menguarkan minyak esensial yang mampu melonggarkan pernapasan yang bumpet.”

Pikiran perempuan lansia lulusan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini tidak menjadi tumpul barang sedikitpun. Meskipun Uyut Wondo tidak pernah menggunakan kepandaiannya secara professional, ia tidak pernah ngantor, tapi ia menularkan hasratnya akan ilmu pengetahuan kepada anak-anaknya. Menginspirasi mereka untuk menggeluti dunia akademik perguruan tinggi. 

“Bahan-bahan itu semua kan sudah ada dalam jamu sirup saset, Bu. Sama saja. Cuma lebih praktis,” bantah Pandan.

“Ada yang tidak bisa digantikan oleh jamu saset, Pandan. Yaitu kenangan dan kasih sayang,” kataku sambil tersenyum.

“Setiap kali Ibu mulai menggigil kedinginan, Ibu mencari kenangan akan Uyut Wondo-mu. Sesungguhnya yang Ibu dapatkan dari secangkir wedang ini adalah kehangatan rasa yang datang dari ingatan akan curahan kasih sayang, bukan dari suhu air panas ini. Ingatan tentang sosok nenek penuh perhatian itu terkumpul dalam secangkir wedang ini, ingatan yang menimbulkan kenyamanan. Ingatan itu tak tergantikan. Dan Ibu membawa ingatan itu hingga ke Jerman, menghidupkannya dengan mengiris-iris cabai, mengupas bawang, menyeduh air panas. Kau tak bisa menggantikan kenangan dengan kepraktisan, sayang.”

“Sie sind ein einsamer Romantiker, das tut niemand mehr, wissen Sie?” gerutu Pandan.

Aku tergelak, “Und Ich haette gerne, dass du an mich so erinnerst.” Dan aku pun menyeruput minuman yang masih hangat itu.

Suara bel berbunyi. Aku dan Pandan pun melongok ke jendela, ingin tahu siapa rupanya yang datang ditengah hujan salju begini. Ternyata suamiku baru pulang dari kantor, dia sedang menggotong sepeda menuruni tangga menuju Keller. Tumpukan salju tipis ada di atas helm, bahu dan tas punggungnya. “Ah Ayah sudah pulang,” seru Pandan.

Awalnya Pandan bergegas ingin membukakan pintu, tapi lalu ia berbalik dan bertanya padaku agak ragu-ragu. “Mmmm, mulai sekarang bolehkah Pandan yang buatkan Wedang Lombok untuk Ayah dan Ibu?”

“Jawohl!” kataku senang. 

“Bagaimana kalua Pandan tambahkan irisan daun pandan ke dalamnya? Wedang Lombok Mbak Pandan judulnya?” katanya sambil berjingkrak menuju dapur.

Aku tersenyum. Boleh jadi, aku sudah menularkan romantisme manisnya kenangan akan kasih sayang kepada anak gadisku.

Glosarium

“Sind Sie kalt?” = “Apakah Ibu kedinginan?”

“Sie koennen es trinken. Es ist einfach praktisch” = “Ibu bisa minum itu. Sungguh praktis”

“Sie sind ein einsamer Romantiker, das tut niemand mehr, wissen Sie?” = “Ibu seorang romantik sendirian, tak ada orang semacam itu lagi, taukah Ibu?”

“Und Ich haette gerne, dass du an mich so erinnerst” = “Dan aku sangat menginginkan, engkau mengingatku seperti itu”

Keller = Rubanah

Jawohl = Tentu saja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun