Di sebuah desa kecil di kaki bukit, ada sebuah rumah tua yang dikenal dengan nama "Rumah Warna". Rumah itu selalu tertutup rapat, kecuali satu pintu kayu besar yang tidak pernah terkunci. Setiap penduduk desa tahu bahwa siapa pun yang mencoba masuk tanpa izin akan menghadapi nasib buruk. Suatu malam, Adit, pemuda pemberani desa, memutuskan untuk membuka pintu itu setelah mendengar suara-suara aneh dari dalam. Saat pintu terbuka, udara dingin menyeruak keluar, dan tiba-tiba Adit mendapati dirinya berdiri di tengah ruangan kosong dengan sebuah cermin besar yang berpendar merah. Di cermin itu, ia melihat bayangan dirinya yang bergerak sendiri, seolah menantangnya.
Adit segera mundur dan menutup pintu itu kembali. Ia terengah-engah, jantungnya berdetak kencang. Di tengah rasa takut, ia memutuskan untuk menceritakan apa yang dilihatnya kepada tiga sahabatnya: Dina, seorang gadis cerdas yang gemar membaca buku-buku mistis; Bayu, teman masa kecil yang dikenal ceroboh tapi setia; dan Farah, seorang perantau yang baru kembali ke desa setelah lima tahun tinggal di kota.
"Kalian harus melihat sendiri," kata Adit dengan nada serius. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sana, tapi aku yakin itu bukan hal biasa."
Dina, yang selalu penasaran dengan hal-hal aneh, langsung mengusulkan untuk menyelidiki lebih jauh. "Mungkin ada sesuatu yang ingin diceritakan oleh rumah itu. Pintu yang tidak terkunci biasanya menyimpan rahasia," katanya sambil mengangkat alis.
Bayu tertawa gugup. "Rahasia atau kutukan? Aku tidak yakin kita perlu mencari tahu. Tapi...kalau kalian pergi, aku ikut. Aku tidak mau ketinggalan cerita."
Farah hanya diam, tapi matanya memandang lurus ke arah Adit. "Apa kau yakin ini ide yang bagus? Jika sesuatu terjadi, kita mungkin tidak bisa kembali." Namun, setelah dipaksa oleh rasa penasaran, ia akhirnya setuju untuk ikut.
Malam berikutnya, keempat sahabat itu berkumpul di depan pintu rumah tua. Bulan purnama menerangi pekarangan yang dipenuhi dedaunan kering. Adit membuka pintu perlahan. Kali ini, tidak ada angin dingin yang keluar. Hanya keheningan yang terasa berat.
Mereka melangkah masuk, satu per satu. Ruangan itu kosong, sama seperti yang Adit ceritakan, dengan cermin besar di tengahnya. Namun kini, cermin itu tidak memancarkan cahaya merah. Sebaliknya, permukaannya berubah gelap, seperti menyerap cahaya dari sekitar.
Dina mendekati cermin dengan hati-hati. Ia mengangkat tangannya, hendak menyentuh permukaan kaca. "Tunggu!" seru Farah, tapi terlambat. Jari Dina sudah menyentuh cermin, dan seketika itu juga, ruangan bergetar hebat.
Bayu jatuh terduduk. "Apa yang kau lakukan, Dina?!" teriaknya panik. Namun Dina hanya terpaku, matanya menatap kosong ke arah cermin. Dari dalam cermin, sebuah suara bergema, rendah dan mengancam.
"Siapa yang berani mengganggu tempatku?" suara itu bergema, diikuti bayangan samar yang muncul dari dalam cermin. Bayangan itu berbentuk manusia, tetapi tubuhnya seperti kabut hitam yang terus bergerak. Dina tersentak mundur, tubuhnya gemetar.
Adit menarik Dina menjauh dari cermin. "Siapa kau?" tanyanya dengan suara keras, meskipun ia sendiri merasa takut. Suara itu tertawa pelan, seperti mengolok-olok keberanian Adit.
"Aku adalah bagian dari rumah ini, bagian dari setiap rahasia yang tidak pernah kau pahami. Kalian telah membuka pintu yang tidak seharusnya dibuka," jawab bayangan itu.
Farah, yang selama ini hanya diam, mendekati Adit dan Dina. "Kita harus pergi dari sini sekarang," bisiknya. Namun saat ia mencoba melangkah mundur, pintu yang tadi terbuka lebar kini tertutup rapat dengan sendirinya.
"Aku tidak akan membiarkan kalian pergi begitu saja," lanjut suara itu. "Kalian sudah masuk ke duniaku. Hanya ada satu cara untuk keluar."
"Dan apa itu?" tanya Dina dengan suara bergetar.
"Cermin ini memerlukan sesuatu darimu, jiwa yang berani menanggung bebannya," jawab bayangan itu. "Salah satu dari kalian harus tinggal di sini untuk selamanya."
Bayu, yang sedari tadi tidak berkata apa-apa, akhirnya angkat bicara. "Tunggu! Tidak ada yang akan tinggal di sini. Pasti ada cara lain." Ia mencoba menendang cermin, tetapi tidak ada efek apa-apa.
"Jangan bodoh!" suara itu menggelegar, membuat Bayu terlempar ke belakang. Ia mengerang kesakitan sambil memegangi lengannya yang lebam.
Farah mendekati cermin dengan langkah hati-hati. "Apa yang kau maksud dengan'menanggung beban'?" tanyanya. Suara itu tertawa lagi, kali ini lebih keras.
"Jika salah satu dari kalian menawarkan dirinya, ia akan menjadi penjaga baru rumah ini, selamanya," jelas suara itu. "Tapi jika kalian menolak, aku akan mengurung kalian semua di sini."
Hening menyelimuti ruangan. Keempat sahabat itu saling berpandangan, mencoba mencari jawaban di mata satu sama lain.
"Aku akan melakukannya," kata Adit tiba-tiba. Semua kepala langsung menoleh ke arahnya.
"Tidak, kau tidak bisa!" seru Dina. "Kita akan mencari jalan lain. Kita selalu melakukannya bersama."
"Aku yang membuka pintu ini," balas Adit. "Aku yang membawa kalian ke sini. Ini tanggung jawabku."
Farah mencoba menghentikannya. "Adit, pikirkan lagi. Kita belum mencoba semuanya. Pasti ada cara lain."
Namun bayangan itu tampak tidak sabar. "Waktu kalian hampir habis. Pilih sekarang, atau aku akan memutuskan untuk kalian."
Dina melangkah maju. "Jika ada yang harus tinggal, biar aku saja. Aku selalu penasaran dengan rahasia rumah ini. Mungkin ini memang takdirku."
"Tidak, Dina!" seru Adit dan Farah serempak. Namun sebelum mereka bisa menghentikannya, Dina menyentuh cermin lagi, kali ini dengan penuh kesadaran.
Cermin itu bersinar terang, hampir menyilaukan. Dina berbalik menghadap teman-temannya."Kalian harus pergi sekarang," katanya dengan senyum tipis. "Pintu itu akan terbuka sebentar lagi. Pergilah sebelum semuanya terlambat."
Bayu mencoba menarik Dina, tetapi tidak bisa. Tubuhnya terasa berat, seolah ada kekuatan yang menahannya di tempat.
"Dina, jangan lakukan ini!" teriak Adit. Namun Dina hanya menggeleng pelan. "Ini pilihan terbaik."
Pintu rumah itu terbuka perlahan, dan angin dingin kembali menyeruak keluar. Farah menarik Adit dan Bayu keluar dengan paksa.
Ketika mereka melangkah keluar, pintu itu tertutup dengan suara keras. Rumah itu tampak seperti biasa, tidak ada tanda-tanda keanehan.
Namun di dalam, Dina berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang kini menjadi satu dengan cermin itu. Ia tahu, ia telah menjadi bagian dari rahasia rumah itu, penjaga pintu yang tidak pernah terkunci.
Adit, Farah, dan Bayu berdiri di luar rumah dengan air mata mengalir. Mereka tahu, Dina telah berkorban untuk mereka.
Sejak malam itu, rumah tua itu kembali sunyi, dengan pintu yang tetap tidak pernah terkunci.
Hari-hari setelah malam itu berjalan berat bagi Adit, Farah, dan Bayu. Mereka sering berkumpul di tepi bukit, memandangi rumah tua itu dari kejauhan. Farah merasa bersalah karena tidak bisa menghentikan Dina, sementara Bayu terus menyalahkan dirinya yang ceroboh.
"Apa yang sebenarnya kita lakukan? Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada Dina di sana," kata Farah suatu hari. Ia terlihat lelah, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.
Adit mengepalkan tangan. "Kita akan mencari tahu. Dina tidak mengorbankan dirinya hanya untuk kita menyerah."
Namun, mereka tidak berani mendekati rumah itu lagi. Setiap kali mereka mencoba, udara di sekitarnya terasa berat, seolah-olah rumah itu menolak kehadiran mereka.
Malam-malam mereka dipenuhi mimpi buruk. Adit bermimpi melihat Dina di balik cermin,memanggil namanya, sementara Bayu mendengar suara-suara aneh yang membisikkan kata-kata yang tidak di mengertinya.
Suatu malam, Farah datang dengan membawa buku tua yang ia temukan di loteng rumah keluarganya. Buku itu penuh dengan catatan tentang rumah tua itu dan sejarah kelamnya.
"Aku menemukannya tadi pagi," kata Farah sambil menunjukkan halaman-halaman yang sudah menguning. "Menurut buku ini, rumah itu adalah tempat ritual kuno. Pintu yang tidak pernah terkunci adalah portal antara dunia kita dan dunia lain."
"Jadi Dina ada di dunia lain?" tanya Bayu dengan nada penuh rasa takut.
Farah mengangguk. "Mungkin saja. Tapi ada satu bagian yang menarik, ritual itu bisa dibalik."
Adit langsung tertarik. "Bagaimana caranya?
Farah menunjuk ke salah satu halaman. "Kita harus masuk lagi ke rumah itu, tapi kali ini membawa sesuatu yang disebut 'Penawar Cermin'."
Bayu menggeleng cepat. "Kau gila? Kita hampir kehilangan nyawa waktu itu! Dan sekarang kau mau kita masuk lagi?"
"Bayu, Dina ada di sana. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja," kata Adit dengan tegas.
Setelah berdiskusi panjang, mereka akhirnya setuju untuk mencoba. Farah yakin bahwa "Penawar Cermin" adalah sebuah benda kecil berbentuk liontin yang pernah dimiliki neneknya.
Keesokan harinya, mereka menemukan liontin itu di antara perhiasan tua milik keluarga Farah. Liontin itu berbentuk sederhana, dengan batu kecil berwarna biru di tengahnya.
Malam itu, mereka kembali ke rumah tua dengan liontin di tangan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi tekad mereka sudah bulat.
Ketika mereka membuka pintu, suara gemuruh menyambut mereka. Udara di dalam terasa lebih dingin dari sebelumnya. Cermin besar itu masih ada di tengah ruangan, kali ini memancarkan cahaya redup.
Suara itu muncul lagi. "Kalian kembali? Apa yang kalian cari?"
"Kami datang untuk membawa Dina kembali," jawab Adit dengan tegas, menggenggam liontin erat-erat.
Suara itu tertawa dingin. "Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Cermin ini tidak akan melepaskannya begitu saja"
Adit mendekati cermin dan mengangkat liontin itu. "Aku tidak peduli. Kami akan melawan."
Tiba-tiba, cermin itu memancarkan cahaya terang, dan bayangan Dina muncul di permukaannya. "Adit... kalian di sini?" suaranya terdengar lemah.
"Dina!" Farah berteriak sambil mendekat. "Kami akan membawamu keluar!"
Suara dari cermin semakin keras. "Dia milikku sekarang! Jika kalian ingin membawanya, bayar harganya!"
Farah membaca mantra dari buku tua yang dibawanya. Liontin di tangan Adit mulai bersinar terang, membuat suara itu terdengar kesakitan.
Cermin itu bergetar hebat. Dina mencoba melangkah keluar, tapi bayangan hitam dari dalam cermin menariknya kembali.
Adit tanpa ragu masuk ke dalam cermin, meskipun Farah dan Bayu mencoba menghentikannya. "Aku akan membawanya keluar!" teriaknya sebelum menghilang.
Di dalam cermin, Adit menemukan Dina yang terperangkap dalam kabut tebal. Ia meraih tangannya. "Ayo pulang," katanya dengan suara penuh keyakinan.
Namun bayangan hitam itu tidak tinggal diam. Ia mencoba menyerang Adit, tapi liontin di tangan Adit memancarkan cahaya yang membakar bayangan itu.
Di luar cermin, Farah terus membaca mantra, sementara Bayu memegangi liontin cadangan yang mereka temukan dalam buku.
Adit akhirnya berhasil menarik Dina keluar dari kabut. Bersamaan dengan itu, cermin retak dengan suara keras.
Mereka berdua terlempar keluar dari cermin, jatuh di lantai rumah tua itu. Farah dan Bayu segera menghampiri mereka.
Rumah itu mulai bergetar, seperti hendak runtuh. "Kita harus keluar sekarang!" teriak Bayu.
Mereka berlari keluar, dan begitu mereka melewati pintu, rumah itu runtuh menjadi debu, meninggalkan tanah kosong.
Keempat sahabat itu terengah-engah, memandang rumah yang kini tidak ada lagi. Dina memeluk mereka erat. "Terima kasih telah menyelamatkanku," katanya dengan suara bergetar.
"Ini bukan hanya tentang menyelamatkanmu," kata Adit. "Kita juga menyelamatkan diri kita sendiri."
Sejak saat itu, tidak ada lagi mimpi buruk atau suara aneh. Desa itu kembali damai, dan keempat sahabat itu semakin dekat satu sama lain.
Dina sering merenung, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di dalam cermin. Namun ia tahu, ia tidak perlu lagi mencari jawabannya.
Farah menyimpan liontin itu di tempat aman, sementara Adit dan Bayu sepakat untuk tidak pernah membicarakan kejadian itu kepada siapa pun.
Hari demi hari berlalu, dan mereka mulai melupakan rasa takut yang dulu begitu menghantui mereka.
Namun, di malam tertentu, Dina kadang masih bermimpi tentang cermin itu, tentang bayangan dirinya yang terperangkap di dalamnya.
Ia akan terbangun dengan jantung berdebar, tapi kemudian melihat liontin di meja kamarnya dan merasa tenang kembali.
Pintu itu kini telah hilang, tapi rahasia dan keberanian yang pernah teruji di sana akan selalu menjadi bagian dari mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI