"Keur naon sakola luhur -- luhur, meakeun duit."
Melihat ke bawah untuk hal -- hal negative,"Tuh si anu, sarjana tapi ngan jadi tukang ojek." Padahal yang salah tentu bukan titel sarjananya tapi mental Â
Bingung menentukan prioritas. Ini terkait dengan hal yang paling manusiawi saat menghadapi dilema nyicil motor baru atau sekolahin anak, makan mie instan atau tumis kangkung. Pilihan yang ga sederhana lho. Ini yang saya lihat di lingkungan saya waktu itu. Lebih memilih mencicil motor daripada menyekolahkan anak, memilih memberi anak balita makan mie instan daripada sayur bayam dan telor.
Padahal dari tahun 90 harga mie instan tetap lebih mahal dari sebutir telor. Harga mie instan sebanding dengan seikat bayam/kangkung yang setelah diolah bisa dinikmati 4 orang.
Saat ini pendidikan dasar 12 tahun sudah gratis, tantangannya adalah memotivasi anak -- anak untuk menuntut ilmu dengan serius dan orangtua dapat mengenali bakat dan minta anak agar tidak mudah melabeli anak bodoh. Karena pelabelan ini berpengaruh pada mindset anak dan orangtua. Menjadi memiliki mental miskin,"Buat apa sekolah tinggi -- tinggi kaau bodoh." Padahal keberhasilan anak tidak ditentukan nilai matematika.
Disinilah pentingnya pemberian PKH dibarengi edukasi berkelanjutan, agar pnerima manfaat PKH menyadari bahwa bantuan bersifat sementara dan mereka di dorong mandiri agar sejahtera.
Mengedukasi dengan ilmu pengasuhan dan wirausaha agar mereka berdaya.
Jadi jika ada pertanyaan bisa kah rantai kemiskinan diputus? Bisa dengan pendidikan dan kesehatan dan PKH menjadi salah satu jalan untuk mewujudkannya.