Mohon tunggu...
Rinandita Wikansari
Rinandita Wikansari Mohon Tunggu... Associate Professor in Applied Psychology | Industrial Psychologist | Coaching MSMEs for Global Market | Developing Future-Ready Workforce

Aktif mengajar, meneliti, dan menulis seputar soft skills, kepemimpinan, hingga strategi adaptif di dunia kerja modern. Tertarik untuk menulis mengenai dinamika kehidupan akademik, dunia kerja, hingga refleksi psikologis dalam kehidupan sehari-hari—berbasis data, pengalaman, dan pendekatan yang humanis. Berdaya lewat ilmu, berdampak lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Jatuh Bangun Mendidik Anak di Era Digital: Realita dan Harapan

24 Juli 2025   14:53 Diperbarui: 24 Juli 2025   14:53 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relasi orang tua dan anak (Sumber: unsplash.com/id/@jule_42)

Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Namun di era digital, kurikulum kehidupan menuntut kita belajar lebih cepat, lebih tanggap, dan lebih bijak---tanpa jeda.

Anak Zaman Sekarang, Dunia Zaman Baru

Era digital bukan sekadar soal gawai dan internet. Ia adalah ekosistem baru yang membentuk cara anak berpikir, merasa, dan berinteraksi. Anak-anak tumbuh dalam dunia di mana informasi datang tanpa disaring, di mana validitas ditentukan bukan oleh fakta, melainkan viralitas. Sebagai orang tua, saya kerap merasa tertinggal. Ketika anak saya bertanya, "Kenapa temanku boleh main TikTok, tapi aku tidak?" saya tahu ini bukan sekadar soal aplikasi, tapi pertempuran nilai antara batasan dan kebebasan, antara keinginan dan pertumbuhan.

Tantangan yang Tak Sederhana

Mendidik anak di era digital bukan hanya soal membatasi screen time. Ini tentang bagaimana kita mengajari mereka literasi digital---bahwa tidak semua yang tampak di layar adalah kenyataan. Ini tentang mengajarkan bahwa likes tidak mengukur nilai diri, dan komentar pedas bukan kebenaran mutlak. Saya pernah terguncang ketika mendapati anak saya diam-diam membuat akun media sosial palsu demi bisa "eksis" seperti teman-temannya. Di situlah saya menyadari bahwa edukasi tentang dunia maya harus dimulai dari rumah, dan bukan hanya dengan larangan, tapi dialog yang sejajar.

Antara Kontrol dan Kepercayaan

Di satu sisi, kita ingin melindungi. Di sisi lain, kita tahu mereka harus belajar menghadapi dunia nyata-termasuk versinya yang digital. Maka kita terombang-ambing antara kontrol dan kepercayaan. Bukan perkara mudah. Saya memilih jalan tengah: menanamkan nilai dan memberikan ruang. Saya belajar tidak hanya menjadi "pengatur waktu layar," tapi juga teman diskusi, tempat curhat, dan kadang-sumber validasi di tengah badai komentar online.

Perlu Dukungan Ekosistem

Mendidik anak di era digital bukan tugas eksklusif orang tua. Sekolah, komunitas, bahkan platform digital harus ambil peran. Kurikulum pendidikan perlu memasukkan literasi digital dan etika bermedia sosial sejak dini. Orang tua butuh forum untuk belajar bersama, bukan sekadar disalahkan ketika anak tergelincir. Hari Anak Nasional seharusnya bukan hanya seremonial. Ia adalah pengingat bahwa tumbuh kembang anak-termasuk di dunia digital-adalah tanggung jawab kolektif. Anak-anak berhak hidup dalam lingkungan yang aman secara fisik dan psikologis, baik di dunia nyata maupun maya.

Harapan yang Tetap Menyala

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun