Bukan Hanya Logo, Tapi Dirimu
Ketika kita membicarakan branding, bayangan yang muncul sering kali adalah logo yang ikonik, tagline yang catchy, dan kampanye visual yang estetik. Namun dalam konteks Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), branding tidak melulu soal desain. Lebih dari itu, branding adalah tentang cerita. Dan cerita itu, berawal dari siapa yang berdiri di balik usaha tersebut.
Sebagai dosen dan juga pendamping UMKM, saya sering menemukan kesalahpahaman mendasar: pelaku usaha berpikir bahwa membangun branding memerlukan biaya besar dan tim profesional. Padahal, dalam dunia pemasaran kontemporer, yang paling berpengaruh bukan sekadar tampilan luar, tapi keaslian dan keterhubungan emosional dengan konsumen. Itulah esensi dari personal branding.
Mengapa Personal Branding Penting untuk UMKM?
Personal branding adalah proses strategis dalam membangun dan mengelola persepsi publik terhadap individu. Dalam dunia bisnis kecil, wajah di balik produk adalah jembatan pertama untuk membangun kepercayaan. Menurut Peter Montoya dalam bukunya The Brand Called You (2005), personal branding adalah “a perception or emotion, maintained by somebody other than you, that describes the total experience of having a relationship with you.” Di era digital, terutama pasca pandemi, konsumen makin peduli terhadap "siapa" yang mereka dukung dengan uang mereka. Mereka ingin tahu siapa yang membuat produk tersebut, apa nilai-nilai yang diyakini, dan bagaimana proses di baliknya.
Studi yang dilakukan oleh Edelman Trust Barometer (2021) menunjukkan bahwa 61% konsumen lebih percaya kepada bisnis kecil yang secara aktif menunjukkan nilai dan kepribadian pemiliknya secara terbuka, misalnya melalui media sosial atau website. Dalam konteks UMKM Indonesia, hal ini sangat relevan. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 64 juta UMKM di Indonesia berkontribusi pada 60,5% PDB nasional. Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada produksi, tetapi pada daya saing dan keberlanjutan pasar, terutama dalam ranah digital.
Dari Cerita Menjadi Ciri Khas
Seorang pengusaha keripik pisang mungkin berpikir bahwa produknya sama dengan ratusan lainnya. Tapi ketika ia menceritakan bahwa usaha ini dimulai dari modal sisa pensiunan orangtuanya, bahwa ia menyusun kemasan sendiri sambil menjaga anak di rumah, dan bahwa ia belajar pemasaran digital secara otodidak dari YouTube, maka produk yang sederhana itu menjadi bermakna. Cerita menjadi diferensiasi. Cerita menjadi identitas. Inilah kekuatan narasi dalam branding diri. Konsumen tidak hanya ingin tahu “apa” produknya, tapi juga “siapa” yang membuatnya dan “mengapa” produk itu layak dibeli. Sebuah studi dari Harvard Business School menunjukkan bahwa storytelling meningkatkan keterlibatan emosi konsumen hingga 22 kali lebih besar dibandingkan presentasi data produk semata.
Media Sosial sebagai Etalase Diri
Era digital telah mendemokratisasi promosi. Hari ini, seorang pelaku UMKM tidak perlu menyewa billboard atau memasang iklan televisi. Cukup dengan akun Instagram, Facebook, atau Tik Tok, pelaku usaha bisa membangun audiens yang loyal-asal konsisten dan otentik. Namun, banyak UMKM yang justru ragu untuk “menunjukkan diri”. Ada yang malu, merasa bukan public figure, atau takut dinilai terlalu narsis. Padahal, tampil di media sosial bukan soal pencitraan kosong, tetapi bentuk keterbukaan dan keberanian untuk membangun kepercayaan.
Beberapa pelaku UMKM yang berhasil menjadikan branding diri sebagai strategi utama bisnis mereka antara lain adalah pemilik usaha fashion muslimah, pembuat kerajinan bambu, hingga produsen tempeh instan. Mereka rutin membagikan proses produksi, keseharian sebagai pengusaha, tantangan yang dihadapi, hingga nilai-nilai hidup yang mereka yakini. Dan hasilnya bukan hanya pada peningkatan penjualan, tetapi pada terbangunnya komunitas.