Penurunan "gairah" aksi massa setelah kerusuhan tanggal 28, 29, dan 30 Agustus 2025 di berbagai daerah, sebenarnya tidak mengagetkan kita semua. Penurunan ini dapat membenarkan hipotesa, jika aksi-aksi yang dilakukan di berbagai daerah tersebut, merupakan spontanitas, luapan kemarahan, dorongan tanpa visi yang jelas. Karenanya, tuntutan baik dalam bentuk program darurat maupun jangka panjang, seperti tidak menjadi penting lagi untuk dikorelasikan dengan aksi massa di lapangan. Singkatnya, aksi massa yang ada tidak mengerti secara keseluruhan apa yang menjadi tujuan demonstrasi. Hasilnya, berkumpul, mendengarkan orasi, lalu bubar. Jadi hanya semacam pamflet dan statemen saja.
Mengorelasikan antara aksi massa dengan tuntutan merupakan sebuah keharusan, jika tidak ingin apa yang menjadi tuntutan politik hilang begitu saja, atau bahkan berganti dengan berita kerusuhan, penjarahan, atau bahkan tindakan kriminal lainnya.Â
Saat Indonesia belum merdeka, misalnya, aksi-aksi pemogokan, perlawanan dengan cara apapun (mural, bahkan perampokan), kerap dibarengi dengan pernyataan jika hendak dihentikan, maka harus dikabulkan. Inilah kemudian yang membuat pesan aksi sampai ke dalam relung dan ruang pikiran pejabat penjajah saat itu.
Jika diizinkan untuk melakukan koreksi terhadap aksi massa belakangan ini, bahkan 1 September 2025 di berbagai daerah, metode dan tuntutan aksinya dapat dianggap tidak saling mencengkram. Sehingga anggapan bahwa aksi aksi hanya akan berbuah pengerusakan, menjadi momok yang menutupi tuntutan politiknya. Seruan untuk solidaritas menjadi hilang, lalu yang ada hanya seruan agar tidak membuat kerusuhan, aksi dengan jalan damai, dan lain sebagainya.
Lalu mengapa begitu penting untuk memasok bahan propaganda, sehingga agitasi-agitasi yang ditimbulkan dapat membuat rakyat banyak bersolidaritas.Â
Tujuan utama dari agitasi adalah agar rakyat banyak yang membaca pamflet, selebaran, tuntutan, tulisan atau pun video yang dibuat sebagai bahan propaganda mengerti dan tergerak hatinya untuk ikut berjuang bersama-sama dalam gerakan massa.Â
Jika dilihat produksi propaganda politik aksi massa lewat media sosial, maka yang dapat kita peroleh adalah hanya setakat waktu dan tempat aksi, kejadian-kejadian saat aksi, atau bahkan yang paling maju adalag cerita tentang kebobrokan sistem yang ada.Â
Propaganda yang dilemparkan dalam bentuk video ataupun tulisan, belum ditemukan secara massif, menjelaskan bagaimana kerusakan sistem terjadi secara detail dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat, sehingga dilanjutkan dengan jalan keluar yang harus ditempuh untuk mengubah yang telah rusak.Â
Mengapa kemudian produksi propaganda ini menjadi tidak beraturan dan cenderung tidak berkorelasi dengan tindakan aksi massa di lapangan?
Karena tidak adanya kelompok pelopor yang memimpin dan mempertanggungjawabkan secara politik aksi tersebut. Singkatnya, jika aksi massa tidak terpimpin, tidak diperoleh dari analisa tajam kelompok progressif yang juga bertanggungjawab secara ideologis, maka dapat dipastikan aksi massa yang terjadi hanyalah luapan kemarahan yang hanya akan menghasilkan catatan-catatan perbuatan kriminal, lalu kemudian akan menjadi propaganda lawan politik untuk hari-hari mendatang.Â
Maka, daripada mengorbankan kepentingan rakyat banyak yang tertunda karena aksi-aksi tanpa diorganisir dengan rapi, lebih baik menajamkan analisa dan kondisi internal serta eksternal organisasi, sehingga hal-hal yang telah disusun bersama dapat dijalankan.