Sebelum tulisan ini dimulai, saya ingin menyampaikan sebuah disclaimer atau pembatasan tanggungjawab bahwa apa yang terkandung di dalam opini berikut merupakan suatu yang objektif, tidak bertujuan membela siapa pun, berdasarkan pengetahuan yang saya miliki.Â
Media sosial telah menyatu dengan struktur dasar keseharian manusia kontemporer, dan dalam dekade terakhir, TikTok muncul sebagai ikon paling mencolok: platform video singkat yang memadukan kreasi, hiburan, dan komunikasi dalam satu antarmuka. Kajian ini menyelidiki TikTok sebagai gejala sosial dengan perspektif multi-disiplin, mengeksplorasi lapisan komunikasi, budaya pop, ekonomi digital, dan bagaimana pikiran dan emosi pengguna terbentuk di sana. Lewat telaah pustaka dan pemikiran konseptual, tulisan ini mengungkap bahwa TikTok lebih dari sekadar alat hiburan; ia berperan sebagai panggung penciptaan identitas individu, mesin ekonomi kreatif, dan laboratorium social-culture yang baru di mana pola dan norma terus dinegosiasikan dan dianalisis.
Fenomena TikTok layak diperhatikan karena di satu sisi mendorong demokrasi konten digital---siapa pun bisa jadi produsen sekaligus konsumen---namun di sisi lain memunculkan tantangan etis, psikologis, dan politik yang tidak sederhana.Â
Teori Uses and Gratifications memandu kita untuk memahami kesadaran pengguna tiap kali memilih TikTok. Melalui fitur "For You Page" yang diolah algoritma, pengguna dihadapkan pada tawaran hiburan, berita, komunitas, hingga pencarian identitas, dan tiap-tiap persoalan itu dipuaskan dengan cepat.
Teori Budaya Populer, seperti yang diuraikan Stuart Hall, memperlihatkan TikTok sebagai arena reproduksi budaya global dan lokal. Di dalam feed kita, konten yang berupa tarian strategis, meme, dan tantangan bukan sekadar hiburan; mereka berfungsi sebagai kode kolektif yang terus diinterpretasi dan diadopsi oleh miliaran mata.
Ekonomi Digital juga tidak bisa diabaikan. Melalui monetisasi konten, endorsement, dan kurasi merek, platform ini mengonversi perhatian menjadi nilai kapital. TikTok dengan demikian bukan sekadar aplikasi; ia telah menjadi ruang dagang di mana praktik kreatif berinteraksi dengan logika pasar.
Kemajuan teknologi informasi terus-menerus mengubah cara masyarakat memproduksi dan mengkonsumsi informasi. TikTok, salah satu platform sosial terpopuler, memberi kebebasan kepada siapa pun untuk membuat konten video singkat dengan langkah menu vlog, merekam, dan mengunggah. Transformasi ini memunculkan debat di ranah komunikasi: bolehkah kita menganggap semua video di TikTok sebagai karya jurnalistik?
Produk jurnalistik diakui secara luas memiliki ciri-ciri yang tak bisa dikompromikan, semisal prosedur verifikasi, netralitas editorial, dan tanggung jawab hukum serta moral. Di sebelah lain, konten video TikTok tak jarang berbobot personal, berbagi opini, dan minim kontrol redaksi. Oleh karena itu, penting untuk memisahkan TikTok dari kategori jurnalistik supaya publik tidak dengan mudah memperlakukannya sebagai sumber informasi yang terstandar.
Menurut Kovach dan Rosenstiel (2001), jurnalisme adalah disiplin yang berupaya memverifikasi informasi demi kepentingan publik. Apapun bentuknya---berita cetak, siaran televisi, atau portal daring---aktivitas jurnalistik harus menjalani proses mengumpulkan data, memverifikasi, dan menyunting. Selain itu, jurnalis harus taat pada kode etik, seperti Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI), yang mengutamakan ketepatan, independensi, dan keseimbangan.
Di sisi lain, karakteristik TikTok sebagai media sosial sangat berbeda. Aplikasi ini diciptakan untuk hiburan, ekspresi diri, dan interaksi. Konten yang muncul pada beranda bergantung pada algoritma yang mengamati preferensi pengguna, bukan pada pertimbangan publik. Beberapa ciri khasnya adalah: produksi konten sepenuhnya oleh individu, tanpa proses redaksi; tidak ada kewajiban untuk memeriksa fakta sebelum unggah; fokus pada keterlibatan (like, share, comment) ketimbang kebenaran; dan sifatnya sementara, di mana tren bisa berganti dalam hitungan hari.