Mohon tunggu...
Rika Kusumayani
Rika Kusumayani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi berolaharaga, memiliki kepribadian bertanggung jawab, suka mendaki gunung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Brahma Widya dan Harmoni Solusi dari Veda

19 September 2025   15:24 Diperbarui: 19 September 2025   15:24 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Brahma Widya dan Harmoni Alam Solusi dari Kearifan Veda

            Di sekitar kita, alam semakin menunjukkan tanda-tanda ketidakseimbangan yang nyata. Perubahan iklim menyebabkan cuaca menjadi tidak menentu; musim hujan dan musim kemarau tidak lagi teratur sehingga sulit diprediksi. Banjir melanda kota-kota besar akibat berkurangnya daerah resapan air, tanah longsor terjadi di daerah perbukitan karena hutan gundul, dan kekeringan berkepanjangan membuat sumber mata air mengering di berbagai desa. Kebakaran hutan pun semakin sering terjadi, baik karena kelalaian manusia maupun akibat suhu bumi yang semakin panas. Udara yang kita hirup pun penuh polusi, berasal dari asap kendaraan, pabrik, hingga pembakaran sampah yang tidak terkendali. Semua bencana dan krisis ini tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan akibat langsung dari perilaku manusia yang mengeksploitasi alam secara berlebihan demi kepentingan sesaat. Penebangan hutan tanpa reboisasi, penggunaan bahan kimia yang mencemari tanah dan air, serta kebiasaan membuang sampah sembarangan adalah contoh nyata dari ketidakpedulian terhadap kelestarian lingkungan. Apabila perilaku ini terus dibiarkan, krisis lingkungan akan semakin parah, mengancam kesehatan manusia melalui meningkatnya penyakit berbasis lingkungan, mengurangi ketahanan pangan akibat lahan yang rusak, dan bahkan mengancam keberlangsungan hidup generasi yang akan datang.

            Sejatinya, sejak zaman dahulu leluhur kita sudah menaruh perhatian besar terhadap hubungan manusia dengan alam. Hal ini tercermin dalam ajaran-ajaran Hindu, khususnya yang termuat dalam Atharva Veda, yang menekankan pentingnya keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam teks-teks suci ini terdapat sebuah pengetahuan mendalam yang disebut Brahma Widya, yaitu ilmu pengetahuan tentang hakikat tertinggi yang mengajarkan bahwa semua makhluk dan seluruh ciptaan adalah bagian dari satu kesatuan kosmis yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan (Putra & Lestari, 2025). Brahma Widya menegaskan bahwa Brahman adalah sumber segala sesuatu, energi ilahi yang menopang keberadaan alam semesta, sementara Atman jiwa yang ada dalam diri setiap manusia adalah percikan dari Brahman itu sendiri. Kesadaran ini mengajarkan bahwa manusia bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari keseluruhan ekosistem. Merusak alam berarti merusak diri sendiri, karena tubuh manusia berasal dari unsur-unsur alam tanah, air, udara, dan api yang pada akhirnya akan kembali ke alam. Oleh sebab itu, tindakan perusakan lingkungan sama artinya dengan melanggar keteraturan kosmis (ta), yaitu hukum universal yang menjaga keseimbangan ciptaan sejak awal mula. Ketika ta dilanggar, akibatnya adalah munculnya disharmoni dalam kehidupan, yang ditandai dengan bencana alam, kelaparan, penyakit, dan penderitaan kolektif (Akbar, 2020).

            Namun, arus modernisasi dan gaya hidup konsumtif telah membuat banyak orang semakin jauh dari kesadaran kosmis yang diajarkan leluhur. Alam kini lebih sering dipandang hanya sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi tanpa batas demi memenuhi kebutuhan industri, urbanisasi, dan gaya hidup serba instan. Hutan ditebangi untuk membuka lahan perkebunan dan pembangunan kota, sungai dicemari oleh limbah pabrik, laut dipenuhi sampah plastik, dan udara dipenuhi polusi akibat emisi kendaraan dan pembakaran fosil. Akibatnya, daya dukung lingkungan semakin menurun: biodiversitas hilang, perubahan iklim semakin ekstrem, dan bencana ekologis semakin sering terjadi. Padahal, ajaran Brahma Widya hadir sebagai pengingat bahwa manusia hanyalah bagian dari sistem kehidupan yang saling terkait. Kesadaran ini mengajarkan bahwa apa pun yang dilakukan manusia terhadap bumi akan kembali kepadanya kerusakan akan membawa penderitaan berupa bencana, penyakit, dan krisis pangan, sedangkan pemeliharaan akan membawa kesejahteraan, kesuburan, dan kehidupan yang berkelanjutan (Putra & Lestari, 2025).

            Kesadaran filosofis yang diajarkan Brahma Widya perlu diterjemahkan menjadi tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah konsep Tri Hita Karana menjadi relevan sebagai pedoman praktis yang mampu menjembatani ajaran filosofis dengan perilaku ekologis. Tri Hita Karana mengajarkan tiga hubungan yang harus dijaga secara seimbang. Parahyangan menekankan pentingnya menjaga hubungan dengan Tuhan melalui rasa syukur, pelaksanaan yadnya, menjaga kesucian air, tanah, dan udara, serta melihat alam sebagai manifestasi ilahi yang harus dihormati (Setiawati, 2024). Bentuk implementasinya dapat berupa upacara pembersihan sumber mata air, pelestarian pura di sekitar hutan atau pegunungan, dan penyucian lingkungan sebelum kegiatan keagamaan. Pawongan menekankan pentingnya hubungan harmonis dengan sesama manusia melalui sikap saling menghormati, gotong royong, dan kerja sama sosial. Dalam konteks lingkungan, hal ini dapat diwujudkan dengan membangun kesadaran kolektif untuk mengelola sampah secara bersama-sama, membentuk komunitas hijau, serta menciptakan kebijakan desa yang berfokus pada kesejahteraan bersama tanpa merusak alam. Palemahan berfokus pada menjaga hubungan harmonis dengan alam yang diwujudkan melalui konservasi hutan, penanaman pohon, perlindungan satwa, menjaga sumber air, dan mengurangi polusi (Raharjo, Ningrum, & Masbukhin, 2025). Upaya ini memastikan bahwa ekosistem tetap seimbang, sehingga manusia dapat terus bergantung pada alam tanpa mengurasnya secara berlebihan.

            Lebih jauh, kearifan Veda menegaskan bahwa krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini bukan hanya masalah teknis atau teknologi, melainkan krisis kesadaran spiritual. Teknologi canggih tidak akan mampu menyelamatkan bumi jika kesadaran manusia masih berorientasi pada eksploitasi dan keuntungan jangka pendek. Oleh karena itu, diperlukan transformasi kesadaran melalui pendidikan yang menanamkan nilai-nilai Brahma Widya sejak dini, sehingga generasi muda memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari menjaga dirinya sendiri. Selain itu, pelaksanaan ritual-ritual ekologis seperti tumpek uduh (hari persembahan kepada tumbuhan) dapat menumbuhkan rasa syukur terhadap alam dan menanamkan nilai pelestarian lingkungan dalam tradisi masyarakat. Prinsip etika Hindu seperti ahimsa (tanpa kekerasan) juga dapat diperluas tidak hanya pada sesama manusia, tetapi juga pada hewan, tumbuhan, dan seluruh ekosistem, sehingga lahir perilaku yang lebih bijaksana terhadap semua makhluk hidup (Alini, 2023).

            Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Brahma Widya serta Tri Hita Karana, manusia dapat menemukan solusi yang komprehensif terhadap krisis lingkungan. Brahma Widya memberikan fondasi filosofis berupa kesadaran akan kesatuan kosmis, sedangkan Tri Hita Karana mengarahkan kesadaran tersebut menjadi perilaku konkret yang ramah lingkungan. Kedua ajaran ini saling melengkapi: yang satu menumbuhkan pemahaman batin, yang lain mengarahkan pada tindakan nyata yang berkelanjutan. Jika kesadaran ini diterapkan secara konsisten, manusia akan mampu mengembalikan keseimbangan alam, mencegah kerusakan lebih lanjut, dan mewariskan bumi yang sehat serta harmonis bagi generasi yang akan datang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, I. (2020). Konservasi lingkungan hidup menurut ajaran Hindu (Bachelor's thesis).

Alini, K. H. (2023). Nilai-nilai toleransi dalam filsafat Hindu dalam mewujudkan moderasi beragama. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Keagamaan, 1, 78--91.

Putra, I. D. G. A. P., & Lestari, N. L. P. D. S. (2025). Pentingnya pelestarian lingkungan dalam ajaran agama Hindu. Jnanasiddhanta: Jurnal Teologi Hindu, 46--56.

Raharjo, S. H., Ningrum, S. U. D., & Masbukhin, F. A. A. (2025). Harmoni manusia, alam, dan Tuhan dalam praktik Tri Hita Karana pada pendidikan lingkungan hidup di Desa Krisik. Jurnal Penelitian Agama Hindu, 9(1), 57--70.

Setiawati, K. M. (2024). Parahyangan: Konsep menjaga kelestarian lingkungan dalam Hindu. ruti: Jurnal Agama Hindu, 5(1), 114--123.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun