Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Ruang Tunggu Keberangkatan

8 Oktober 2019   12:24 Diperbarui: 25 Oktober 2019   20:49 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Unsplash.com/ Rishi Mohan @rishi

Dia akhirnya merendengiku. Beberapa orang melihat kami dengan senyum bangga. Mungkin mereka kagum melihat pasangan yang sangat serasi.

Pasangan yang sangat serasi? Kenapa pikiranku mulai kacau begini? Ataukah perempuan di sebelahku ini memang cantik? Ya, ya. Aku akui  dia tambah cantik. 

Tampaknya dia sering fitnes sehingga menghasilkan tubuh proporsional. Beberapa kali kulit kami bersinggungan karena menghindari orang yang berjalan berlawanan arah. Jantungku berdesir. Aku seperti dialiri arus halus. Pipiku hangat. Entah yang kualami, dialami juga oleh perempuan itu, aku tak dapat menebak pasti.

Sebuah gerai pun menghapus pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di kepala. Di sudut ruangan bernuansa etnik, kami duduk berhadapan. Aroma lavender yang menyapu-nyapu seluruh ruangan, tiba-tiba memaksaku berpikir andai kami duduk berdempetan seperti suami-istri. Uh, shit! Yon, berpikirlah rileks dan normal.

“Pesan apa?” Aku menetralisir pikiran yang kacau.
“Capucino dan setangkup roti.”

“Selera kita sama!” Aku memanggil pelayan. Sayang sekali mereka tak menyediakan roti berasa kopi. Mereka hanya ada roti coklat berlapis mentega dan keju. Baiklah! Sepertinya tak mengapa. Aku memesan sesuai menu yang ada.

Entah kenapa dia bertanya tentang Ikbal, lalu Ros, Masniari, dan teman-teman lain. Pada mimik mukanya aku menangkap dia kangen masa-masa kami SMA. Aku sungguh tak menduga dia mengeluarkan album kenangan dari dalam tasnya. Dan agar kami lebih leluasa, dia pindah duduk dari seberang dan memepet tubuhku. Apa ini? Jujur, meski rikuh, aku sangat suka.

Dia pun menunjuk foto ramai-ramai selesai acara porseni SMA. Lucu sekali gaya kami. Kemudian kami berpindah ke foto mandi-mandi di sebuah sungai. Saat itu setelah kami mengikuti acara perpisahaan SMA.

“Kau ingat Bondan?” Dia mengaduk-aduk memoriku. Ya, ya, aku  teringat lelaki pipi tembem yang selalu absen ketika pelajaran olah raga. Apalagi kalau kasusnya lomba lari. Dia juga yang sering mendapat muntahan bekalku ketika ada acara ulang tahun teman di kantin sekolah.

“Yang gendut, ya?”

Dia tertawa. “Iya. Yang selesai kita mandi-mandi, dia tiba-tiba kesurupan.” Aku teringat Bondan merangkak dan memakan rumput.  Beberapa perempuan menjerit ketakutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun