Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Aneh

24 September 2019   16:00 Diperbarui: 24 September 2019   16:40 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Lelaki itu duduk di sudut jalan. Agak gelap, terlindung di halte tanpa lampu. Hati saya mendadak  kecut. Teringat jalan ini sering memangsa pejalannya. Setahun lalu, ditemukan seorang pemuda tewas. Kabarnya digebuki pemalak. Motornya dilarikan. Sebulan kemudian, seorang kakek ditusuk tepat di perut dengan pisau cap garpu. Nyawanya untung bisa diselamatkan. Kabar burung juga, orang sering  mendengar suara tangisan. Jeritan dari lorong antah. Ada pula bayangan-bayangan melintas, lalu menghilang. Tak hanya makhluk bertubuh kasar yang akan menakutkanmu ketika di sini. Lebih menakutkan lagi makhluk bertubuh halus.

Saya menyesal tadi tak menuruti ajakan Baim membonceng di motornya. Saya takut apabila menerima bantuannya, saya harus siap-sipa memberikannya bantuan berupa cinta. Dengan seoramg Baim? Tentu tidak! Tapi setelah ditinggal begini, apalagi dengan gaun sedikit ketat, dengan tas jinjing berisi gaji pertama, takkah saya menggiurkan? Tubuh saya juga montok dan seksi. Wajah saya menggoda. Tetiba saya teringat Tuhan. Hanya Dia-lah satu-satunya yang bisa menolong saya. Tapi apa mungkin? Pernahkah saya mengingat Tuhan ketika sedang lapang?

Lelaki yang duduk di sudut jalan itu, sedikit bergeser mendekati saya. Kalau dia macam-macam, saya akan berteriak minta tolong sekeras-kerasnya. Namun, siapa yang akan mendengar saya?  Jalan ini sepi. Mendung menggelayut langit. Lampu jalan antara segan hidup, tak juga mau mati.

"Hai, lagi nunggu jemputan?" Saya cemas lelaki yang duduk di sudut jalan itu telah berhasil mendekat. Ternyata saya salah. Dia seorang pemuda gagah. Bertampang menggoda. Bersenyum apik, sehingga jantung saya seakan dibolak-balik.

"Nggak nih, mau menunggu angkot."

"Menunggu angkol jam segini? Apa ada?" 

Saya mulai merutuki bos yang memaksa lembur keroyokan sampai pukul sepuluh malam. Saya sebenarnya bisa protes, dan pulang senja.  Senjata pamungkas si bos yang membuat saya tak bisa berbuat banyak. Ya itu tadi. Gaji ditahannya hingga jam sembilan tiga puluh. Itu artinya saya harus menunggu tergerak hatinya memberikan upah sebelum keringat karyawan kering. Meski keringat saya sudah kering dari lima hari lalu. Kendati diperas, tubuh saya tak bisa mengeluarkan keringat lagi.

"Nggak ada lagi, ya?" Saya semakin takut.

"Aku menyarankan kita jalan melewati lorong itu. Di seberang lorong biasanya  masih ada taksi. Nanti biar aku yang bayari."

Oh, baik sekali dia.  Sebenarnya sedari tadi saya bisa mencari taksi. Tapi karena ingin berhemat dengan naik angkot, saya bertahan di jalan ini.

"Aku ada uang kok. Biarlah!" Saya melihat ke arah halte. Entah ke mana lelaki aneh tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun