Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Stokar (Kutukar) Hati dengan Ketulusan

20 Agustus 2019   15:00 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

"Apa pula kau, Ucok. Macam ayam nelan karet kau kutengok. Santai saja. Happy! Tak usah kau pikirkan uang. Rejeki itu pasti ada, asal engkau berusaha." Birin merogoh kantongnya yang kudel. Dia mengeluarkan uang lima puluh ribu, dan menggengamkannya ke tangan Ucok. "Ibu kau kan sakit. Kau bawa saja dia berobat."

"Tapi bagaimana aku membayarnya?" tanya Ucok tak enak hati. Air matanya menetes menahan lara agar tak kentara merusak raga.

"Ah, banyak pula basa-basi kau. Basi kau nanti. Kau ambil uang ini, sudah selesai. Tak usah kau pusingkan masalah hutang. Aku kasih saja itu untukmu. Sekarang kita makan sate Padang. Tak pengen rupanya kau. Aku yang traktir."

***

Hidup pasti berubah. Kadang di atas, kadang di bawah. Kalau sedang di atas, jangan lupa melihat ke bawah. Kalau sedang di bawah, jangan merasa orang termiskin di dunia (pen; bukan judul lagu Hamdan ATT). Ucok yang dulu, bukan Ucok yang sekarang (pen; bukan lagu Tegar). Kejujuran dan ketulusan hati, telah menghantarkannya menjadi seorang sopir berkelas, sopir bis ALS jurusan Medan-Padang.

Sebenarnya, boleh dibilang hidup Ucok sudah agak mendingan, meskipun baru sekitar tiga tahun menjadi sopir ALS. Tapi, sampai sekarang, di samping kiri belum ada penghuni, alias belum beristri. Sudah berulang-kali ibunya menyuruh dia menikah. Usia tiga puluh tahun tidak dibilang muda lagi. Tapi, bagaimana mau menikah. 

Dia sudah melihat beragam perempuan. Dari yang gemuk sampai kurus seperti papan. Dari yang tinggi sampai semekot (pen; semeter kotor). Dari yang bahenol, hingga berbentuk botol. Tapi semua hanya silau pada uang Ucok. Tak ada yang tulus. Ucok takut kalau beristri yang mata duitan, dia bisa seperti koruptor. Hanya kejujuran dan ketulusan yang bisa membuatnya berhasil.

Suatu pagi, saat libur sebagai sopir, dia bertandang ke Lopo Sapangkek. Sengaja dia meminta diputar lagu kira-kira begini bunyinya, "Si sopir motor do alakna. Pas do pira manuk di ujung tanduk (pen; si sopir motorlah orangnya hampir seperti telor ayam di ujung tanduk). Saat dia bernyanyi-nyanyi kecil itu, seorang ibu menepuk pundaknya.

"Hai, Ucok. Kau ingat aku, kan?" tanya ibu itu sambil tersenyum. Ingatan Ucok melayang ke beberapa tahun silam. Ibu tua, dua ember getah, uang lima ribu lecek.

"Oh, pasti ingat!" Ucok mengigit-gigit ujung kuku karena malu. Tabiat itu sangat tak bisa dia hilangkan. Ucok silau melihat perempuan berjilbab di sebelah ibu itu. Badan tinggi semampai, mata bintang kejora, bibir ranum dikulum, aduh bangun, Cok. Tak guna bermimpi di siang bolong. Mana mungkin dia mau kepadaku, batin ucok. Hidung tomat, kaki jerapah, mata jengkol, bibir seperti habis dipukul Mike Tyson. Legam tubuh hampir menyerupai pantat kuali.

Tapi Ucok menyabarkan hati. Tak ada manusia yang jelek. Semua manusia diciptakan sempurna. Merendahkan tampilan tubuh sendiri, sama dengan merendahkan Sang Pencipta. Astagfirullah. Ucok telah berpikiran melantur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun