Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Stokar (Kutukar) Hati dengan Ketulusan

20 Agustus 2019   15:00 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Telah serak suaranya. Telah kering tenggorokannya. Dia tetap bertahan. Dia berteriak terus, "Kotanopan! Kotanopan!" Hanya seorang-dua yang menyetop motor bon (pen; penyebutan untuk mobil angkutan kota), tapi akhirnya orang-orang memilih batal menumpang, karena gundukan dalam ember itu. 

Siapa yang tahan mencium bau getah busuk. Ucok saja dari tadi sudah mau muntah. Tapi menyuruh ibu yang membawa dua ember getah itu menumpang motor lain atau truk, dia tak tega. 

Dia teringat umak di rumah sedang terbaring lesu, menunggu hasilnya menjadi stokar (pen; kernet mobil) hari ini. Mungkin digenapkan dengan yang  didapatnya kemari-kemarin, ibunya bisa dibawa berobat.

Ibu yang duduk sendirian di motor bon itu, juga bernasib sama dengan dirinya. Dia pasti membutuhkan uang. Mungkin saja suaminya sedang sakit, dan menunggu uang berobat. Kalau tidak, bagaimana mungkin perempuan kurus itu nekad ke pasar Kotanopan demi menjual dua ember getah, yang pasti lumayan berat?

Akhirnya sampai juga motor bon di ujung pasar, persis di dekat jembatan, tempat biasa pasar getah. Ucok kasihan melihat ibu itu. Setelah dia turun, Ucok sigap mengangkat dua ember getah itu. Lalu diletakkannya di antara getah yang akan ditimbang. Sementara ibu itu masih sibuk mengais-ngais uncang dengan tangannya yang kurus.

Dia menatap Ucok. Wajahnya memalas. Firasat buruk menghinggapi pikiran Ucok

"Nak, uang ibu ketinggalan. Tunggu sebentar getah ditimbang, baru ibu bayar ongkos," kata si ibu malu-malu

 Hati Ucok bimbang. Apalagi sopir sudah memanggilnya terus dari jendela motor. Ucok bergegas, berlari kecil. "Nak, ongkosnya?"

"Biarlah,"jawab Ucok sambil menggantung di belakang motor bon. Pikirannya kacau. Bagaimana mungkin bisa membawa ibunya berobat. Dia tak punya uang lebih. Uangnya, lima ribu lecek di kantong, terpaksa dilego ke sopir untuk ongkos ibu tadi. Kalau tak dikasih, mungkin dia akan habis dimaki-maki. Baru menjadi stokar satu minggu, sudah berani memberi tumpangan gratis.

Hanya seratus satu ribu yang dia setor ke sopir, termasuk melego uang lima ribu yang lecek. Bagaimana mungkin dia dapat bagian. Yang ada hanya dikasih hutang oleh sopir. Setoran saja pas-pasan.

Ucok bertopang dagu di Lopo Sapangkek (pen; lepau orang sebaya). Musnah sudah niatnya membawa ibu berobat. Apa mungkin berhutang kepada Birin, sopir itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun