Aku menyebutnya Mbok Bakul. Bukan karena tubuhnya seperti bakul. Atau dia tukang pembuat bakul. Melainkan dia adalah seorang penjual nasi campur yang selalu menempatkan jualannya di bakul yang terikat di punggung.Â
Tubuhnya tak seperti perempuan umumnya. Dia berotot serupa lelaki. Langkahnya cepat dan panjang-panjang. Suaranya keras, meskipun selalu lembut ketika menawarkan jualannya. Dia orang Jawa totok. Bahasanya lumayan medok.Â
Aku selalu menunggunya setiap siang di pos ronda, tak jauh dari tempatku bekerja sebagai tukang bangunan di sebuah perumahan elite. Setiap kali matahari tepat di ubun-ubun, dia akan terlihat muncul di ujung jalan. Biasanya dia selalu bermuka masam melihatku. Apalah penyebabnya kalau bukan aku paling senang mengutang kepadanya. Begitupun, dia tetap mengangsurkan sebungkus nasi yang masih hangat. Tentu saja dibarengi repeten panjang.
Aku tak terlalu paham pribadi Mbok Bakul. Dari Piet, mandor tukang, kuketahui sedikit informasi bahwa Mbok Bakul tinggal di pinggiran Sungai Musi. Dia hanya menempati sebuah gubuk. Dia tak memiliki keluarga. Anak tak punya. Suami entah ke mana. Dia sebatangkara, tapi selalu berusaha menunjukkan bahwa dia memiliki keluarga banyak. Karenanyalah dia tetap akrab kepada setiap orang. Hingga setiap orang baik juga kepadanya.Â
Kalau orang lain tak baik kepadanya, mungkin tak semudah itu dia mendapatkan barang jualan berupa nasi campur. Seorang pemilik restoran Padang, rela menitipkan berbungkus nasi campur tanpa meminta jaminan kepadanya. Hampir tanpa resiko pula. Apabila Mbok Bakul tak bisa menjualkan nasi campurnya sampai habis, pun tak masalah. Makanan yang pasti akan basi itu, tetap diterima dengan lapang dada oleh sang pemilik restoran Padang itu. Tapi sungguh, setahuku, nasi campurnya selalu ludes-des... Bahkan banyak yang kecewa ketika belum genap jam satu siang, jualan Mbok Bakul telah habis.
Hari ini, seperti hari sebelumnya, aku menunggu Mbok Bakul berdua Piet. Perutku benar-benar keroncongan. Istriku yang baru melahirkan anak pertama kami, terlambat bangun tadi pagi. Dia hanya menghidangkanku pisang goreng setengah gosong, dengan secangkir kopi yang ampun pahitnya.
"Mbok bakul belum datang juga," gerutuku seraya melirik jam tangan Piet.
"Sabar! Kau ini seperti sedang menunggu pacar saja." Piet bercanda.
"Menunggu pacar? Cacing di perutku yang kelelahan menunggu kekasihnya." Keringat dingin menjalari tanganku. Sambil mengelap tangan dengan handuk kumal, aku mendongak ke arah ujung jalan. Namun tak kelihatan sesuatu pun, selain sisa debu yang berkepul diterbangkan angin.
"Hampir jam satu," cetusku tanpa ingin mendapat jawaban. Piet mengeluh. Dibukanya ransum pemberian istrinya. Wangi sop sayuran langsung merebak. Sepotong ikan dencis goreng, menyembul di balik tutup rantang. Laparku seketika menggila.
"Sudahlah! Kalau tak tahan lapar, makanlah sebagian ransumku ini," tawarnya.
"Nanti kau kekurangan!"Â
Piet tak membalas. Dia menyisihkan nasi untukku di atas daun pisang.Â
Ternyata aku harus melahap nasi pemberiannya sampai tandas. Mbok Bakul yang kutunggu ternyata tak kunjung tiba. Begitu pula esoknya. Esoknya lagi. Ujung-ujungnya terpaksa aku memasak sendiri untuk ransumku siang hari. Mengharapkan tenaga istri yang masih lemah demi melayani bekal makan siang suaminya, sungguh tak wajar. Aku kasihan melihat dia kecapekan, apalagi setiap malam harus bergadang karena tangis rewel anak kami.
* * *
"Ke mana gerangan Mbok Bakul?" Kali ini aku mengharapkan jawaban dari Piet. Sayang, mandorku itu hanya mengedikkan bahu sambil menyeruput kopinya sampai tandas.
Aneh, tiba-tiba aku merasa cemas. Siapa tahu Mbok Bakul sedang sakit di gubuknya. Atau, bisa jadi dia tengah ditimpa masalah berat. Sebagai seorang pembeli yang kerap berutang, harusnya aku harus perduli kepadanya
Selepas bekerja di sore harinya, akhirnya kuputuskan  tak langsung pulang ke rumah. Keinginan menjenguk Mbok Bakul ternyata lebih besar. Setelah menitipkan pesan kepada Lintar, agar memberitahu istriku bahwa aku terlambat pulang, barulah kukayuh sepeda menuju gubuk di pinggiran Sungai Musi.Â
Perjalanan yang kutempuh cukup melelahkan. Bukan karena jaraknya terlalu jauh. Melainkan jalannya yang berliku sehingga membuatku pening. Berulang-ulang aku memutar di posisi yang sama, sebelum akhirnya seorang lelaki tua rela menunjukkan gubuk sang Mbok Bakul.
"Apa tujuanmu ke rumah perempun itu?" Terlihat raut curiga dari rona wajah lelaki tua itu.
"Tak ada tujuan yang serius. Hanya iseng saja."Â
"Iseng?" Dia menggeleng-geleng. Lalu meninggalkanku tepat di sebelah kanan gubuk Mbok Bakul.
Suasana di dalam gubuk sepi. Dari jendelanya kulihat kursi-kursi buruk berjejer. Sebuah teko kusam di atas meja, menjadi bukti bahwa gubuk telah ditinggal sekian lama. Hai, ke mana gerangan Mbok itu? Apakah dia kembali ke Jawa?Â
Perlahan kuberanikan masuk ke dalam. Sebuah kasur, di atas lantai yang terbuat dari anyaman bambu, menyambutku dengan penuh tanda tanya. Sesosok tubuh berselimut di atasnya, membuatku sedikit lega. Dia pasti Mbok Bakul. Tak mungkin yang lain, sebab dia orang yang sebatangkara.
"Bangun, Mbok! Maaf, aku ke mari mau menjenguk, sekalian membayar utangku yang kemarin. Mbok sakit, ya?" Tak ada sahutan. Sesosok tubuh berselimut itu menggeliat.Â
"Siapa?" Aku menangkap suara berat. Suara khas lelaki.Â
"Aku, Samirin!" Jawabku semakin mendekati sesosok tubuh itu.
Sekonyong aku tersentak. Orang di balik selimut itu ternyata lelaki tegap bertubuh liat. Mustahil dia suami sik Mbok. Dia kan sebatangkara? Lalu siapakah orang itu? Maling?
Orang itu duduk sambil memanjangkan kedua belah kakinya. "Oh, kau mencari perempuan pemilik rumah ini, ya?" Aku mengangguk. "Mohon maaf, sudah lama dia meninggalkan tempat ini. Saya tak tahu dia pergi ke mana. Aku hanya pendatang saja. Bukan saudara, hanya sebatas temannya."
Teman apa kekasih? Pikiranku berkecamuk. Aku ingin bertanya lebih jauh. Sayang, lelaki itu tak mau diganggu. Perlahan akhirnya, kutinggalkan gubuk itu dengan puluhan tanda tanya.
* * *
Cerita tentang Mbok Bakul, lambat laun menghilang dari benakku. Kesibukanku sebagai tukang di perumahan elite itu, lebih menyita pikiranku. Apalagi bisnis sampingan bersama Piet semakin maju saja. Banyak pelanggan kami yang hampir setiap hari meminta jatah. Tentu dengan bayaran setimpal. Sepertinya penghasilan dari bisnis itu, hampir sepuluh kali gaji sebulan menukang.
Istriku memang tak tahu bisnis itu. Sebab semuanya dilakukan di lokasi perumahan elite. Pelanggan kami banyak. Dari yang namanya tukang kere, pembecak, tukang sampah, sampai bos-bos. Barang-barang pesanan pun selalu keluar masuk tanpa kendala. Aku tak ambil pusing darimana Piet mendapatkan semua benda itu. Yang penting, sebagai kurirnya, aku hanya manut. Begitu ada pesanan, kerja menukang ditinggalkan sebentar. Aku akan menuju lokasi jual-beli menggunakan sepeda butut. Kemudian kembali lagi dengan uang lumayan. Piet mengatakan, aku kurir yang baik dan teliti. Dia senang membawahiku.
Tanpa terasa hampir dua bulan aku tak melihat Mbok Bakul. Uang untuk membayar utang tetap terselip di lipatan sebelah dalam dompetku. Hmm, lucu juga rasanya. Aku memiliki uang lumayan, tapi dulu senang berutang kepada Mbok Bakul. Bukan apa-apa, aku suka melihatnya merengut ketika mendengarku mengucapkan kata "utang". Aku teringat rengutan seseorang. Rengutan yang timbul ketika aku berbuat kesalahan fatal. Ya, rengutan itu milik ibuku. Â Mbok Bakul dan ibuku persis sama. Berwajah bulat dengan rengutan senada.
Tatkala asyik memirit kartu bersama Piet di belakang sebuah rumah elite, tiba-tiba telepon selular Piet berbunyi nyaring. Dia berbincang sebentar dengan orang di seberang. Lalu dia menghentikan permainan. Sebuah amplop coklat dikeluarkannya dari balik jaket. Katanya, "Ada pesanan!"
Tempat jual-belinya tak begitu jauh. Hanya seratus meter dari lokasi kami menukang. Maka kuputuskan berjalan kaki saja.Â
Beberapa menit berselang, aku bertemu dengan si pembeli. Seorang perempuan berjaket gelap. Bertubuh gendut. Bertopi pet. Plus berkacamata kecoklatan. Aku hanya menunduk sambil menyerahkan amplop coklat. Tapi ketika dia berbicara, aku seolah sangat hafal suaranya. Segera kutatap lekat wajahnya. Kupandang dekat sorot mata membola di balik kacamata itu.Â
"Kau....?"Â
Dia cemberut. Aku bertambah mengenalinya.
"Ya, tebakanmu pasti benar. Aku memang Mbok Bakul yang selama ini kau kenal," ketusnya menyeringai.
Instingku berjalan. Namun gerak tangan si Mbok lebih cepat. Sebelum aku sempat melarikan diri, sepucuk pistol telah ditodongkannya ke ujung pelipisku.
Dia terkekeh. Beberapa kawannya yang tadi bersembunyi, meringkusku bersama-sama. Dari mulut si Mbok kuketahui bahwa selama ini dia hanyalah menyamar. Dia seorang polisi wanita. Selama tiga bulan, dia mematai-matai lokasi perumahan elite itu. Sebab diinformasikan kalau di lokasi tersebut sering terjadi transaksi barang haram dengan jumlah lumayan.
Aku baru ingat, dia pernah memancingku masalah obat-obat terlarang dan dunia dugem. Kala itu aku hanya tertawa. Kukatakan, orang gembrot dan tua sepertinya, tak pantas lagi mengikuti gairah muda sepertiku. Sambil bercanda, aku menawarkan kalau butuh barang haram, hubungi saja diriku. Dan itulah yang membuatnya semakin sering mematai-mataiku.Â
"Tapi aku tak sendiri," gerutuku.
"Ya, temanmu Piet telah kami ringkus duluan." Dia mendorong kasar tubuhku. "Oh, sebelum lupa, kau masih mempunyai utang lima bungkus nasi campur, bukan?"Â
Kulirik wajahnya yang langsung tersenyum penuh kemenangan.
---sekian---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI