"Nanti kau kekurangan!"Â
Piet tak membalas. Dia menyisihkan nasi untukku di atas daun pisang.Â
Ternyata aku harus melahap nasi pemberiannya sampai tandas. Mbok Bakul yang kutunggu ternyata tak kunjung tiba. Begitu pula esoknya. Esoknya lagi. Ujung-ujungnya terpaksa aku memasak sendiri untuk ransumku siang hari. Mengharapkan tenaga istri yang masih lemah demi melayani bekal makan siang suaminya, sungguh tak wajar. Aku kasihan melihat dia kecapekan, apalagi setiap malam harus bergadang karena tangis rewel anak kami.
* * *
"Ke mana gerangan Mbok Bakul?" Kali ini aku mengharapkan jawaban dari Piet. Sayang, mandorku itu hanya mengedikkan bahu sambil menyeruput kopinya sampai tandas.
Aneh, tiba-tiba aku merasa cemas. Siapa tahu Mbok Bakul sedang sakit di gubuknya. Atau, bisa jadi dia tengah ditimpa masalah berat. Sebagai seorang pembeli yang kerap berutang, harusnya aku harus perduli kepadanya
Selepas bekerja di sore harinya, akhirnya kuputuskan  tak langsung pulang ke rumah. Keinginan menjenguk Mbok Bakul ternyata lebih besar. Setelah menitipkan pesan kepada Lintar, agar memberitahu istriku bahwa aku terlambat pulang, barulah kukayuh sepeda menuju gubuk di pinggiran Sungai Musi.Â
Perjalanan yang kutempuh cukup melelahkan. Bukan karena jaraknya terlalu jauh. Melainkan jalannya yang berliku sehingga membuatku pening. Berulang-ulang aku memutar di posisi yang sama, sebelum akhirnya seorang lelaki tua rela menunjukkan gubuk sang Mbok Bakul.
"Apa tujuanmu ke rumah perempun itu?" Terlihat raut curiga dari rona wajah lelaki tua itu.
"Tak ada tujuan yang serius. Hanya iseng saja."Â
"Iseng?" Dia menggeleng-geleng. Lalu meninggalkanku tepat di sebelah kanan gubuk Mbok Bakul.