Cerpen | Pita Rambut Baru

Hari ini aku sangat kesal. Aku terlambat bangun pagi. Pita rambut yang baru kubeli, hilang. Mang Usor, tukang becak langganan, hanya tersenyum kecil ketika melihatku keluar dari dalam rumah. Selama perjalanan menuju sekolah, dia hanya diam. Baguslah, Mang Usor tahu aku sedang kesal.

"Sejak tadi kau cemberut terus, Adis. Kenapa?" tanya Yuni saat jam istirahat. "Hehehe, kau terlambat bangun pagi lagi, ya? Buku cerita itu memang bagus. Tapi jangan sampai membuatmu terlambat tidur dan terlambat bangun."

Apa yang dikatakan Yuni benar. Tadi malam aku terlambat tidur karena keasyikan membaca buku cerita. Buku cerita itu dipinjamkan Yuni, dan ceritanya sangat bagus. Buku cerita itu selesai kubaca ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam.

"Tapi bukan karena terlambat bangun pagi yang membuatku kesal," gerutuku. Kuceritakan tentang pita rambut baru yang sama-sama kami beli di pasar.

"Ha, pita rambut itu hilang?"  Mata Yuni membesar. Lucu sekali melihatnya. Aku ingin tertawa, tapi rasa kesal menahan tawaku keluar.

"Iya! Setelah kita beli kemarin pagi, aku langsung menyimpannya di dalam lemari. Rencananya aku ingin memakainya hari ini." Aku melihat rambut Yuni. "Lho, kau juga tidak mengenakan pita rambut baru!"

"Pita rambut itu masih basah, Adis. Kemarin sore Ibu mencucinya," jelas Yuni seiring bel tanda jam istirahat selesai, berbunyi.

Lambat-laun   aku melupakan pita rambut baru itu. Kalau ada uang lebih, aku bisa membeli penggantinya. Namun saat pulang sekolah, rasa kesalku kembali datang. Aku tidak sengaja melihat ke arah rambut Vika. Hai, bukankah itu pita rambutku? 

Vika adalah adik kelasku. Rumah kami hanya dibatasi sepetak tanah. Berani benar anak itu mencuri pita rambut baruku.

"Vika!" jeritku. Dia menoleh sambil meringis. Kemudian dia berlari tunggang-langgang. Aku ingin mengejarnya. Tapi Yuni menghentikan langkahku.

"Buru-buru amat, Adis. Tunggu aku, dong!" ketus Yuni dengan wajah cemberut.

"Tidak salah lagi, dia yang mencuri pita rambutku, Yun! Si Vika," geramku. "Tunggu saja nanti, aku akan ke rumahnya. Aku kuteriakkan dia maling!"

"Tidak baik berprasangka buruk, Adis. Tanya baik-baik saja dulu."

Aku tidak peduli nasihat Yuni. Sesampai di rumah, aku buru-buru makan siang tanpa membuka pakaian seragam. Harus cepat-cepat kulabrak si Vika itu.

"Eh, ganti baju dulu baru main!" jerit Kak Ria dari ruang depan. Tanpa menoleh lagi, aku berlari menuju rumah Vika.

Aku akhirnya berubah seperti patung saat tiba di teras rumah Vika. Kenapa di sini ada Ibu? Dia menatapku sambil melotot. Tentu saja dia paling tidak suka melihatku masih memakai pakaian seragam sepulang sekolah. 

"Kenapa Ibu di sini? Apa Ibu sudah tahu kalau Vika telah ......" 

"Iya, Ibu sudah tahu kalau Vika sakit perut. Ini Ibu baru saja memberikan obat kepada ibu Vika. Mudah-mudahan setelah minim obat itu, dia bisa sembuh," kata Ibu, sehingga membuatku tersenyum senang. Syukurlah pencuri pita itu akhirnya mendapat ganjaran.

Setelah ibu Vika memberitahu kalau Vika sudah agak baikan, kami pun permisi pulang. Ibu menceramahiku masalah seragam yang masih kukenakan. Dan beragam nasehat pun dia lontarkan. Sampai-sampai aku tidak bisa menumpahkan rasa girangku. Aku ingin mengatakan kalau si Vika sakit perut adalah upah karena telah mencuri pita rambutku.

"Nah, satu lagi yang harus kau ingat, Adis. Kalau punya barang itu harus tahu tempatnya di mana. Kemarin siang kan Ibu sudah mengasih tahu kalau pita rambut barumu Ibu cuci. Kenapa sampai siang begini masih di tali jemuran?"

Pita rambut baruku di tali jemuran? Lalu, pita rambut Vika? Tiba-tiba aku sangat menyesal telah berprasangka buruk. Sore nanti aku akan menjenguk dan membawakannya makanan. Maafkan aku, Vika!

---sekian---