Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penari Ronggeng

6 Maret 2019   21:44 Diperbarui: 7 Maret 2019   06:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Itu keinginan Nonya Ronggo, Juragan. Dia mau menanggap tarian ronggeng." Aku tak bisa menolak. Apalagi Dara kemudian menggangguk pelan sambil mendekatiku,

Aku pun hanya bisa memendam hasrat ingin menghabiskan malam berdua Dara di kamar. Kuikuti saja kehendak betinaku itu menikmati tarian ronggeng di lapangan depan. Kelihatannya dia amat senang, dengan bukti sungging senyum di sudut pipinya. Tak apalah! Melihatnya tersenyum begitu, tentulah lebih baik daripada aku menggaulinya seperti seonggok batang pisang yang kaku dan dingin. Dan itu sangat menyakitkan bagi setiap pejantan.

Aku sengaja duduk menjauh dari Dara. Aku ingin menjadi seekor serigala yang melihat purnama pecah di ubun-ubun gunung. Ah, betapa agungnya tangan Tuhan menciptakan makhluk seperti Dara. Betapa inginnya aku  memiliki segenggam cinta di dalam hatinya. Dia perempuan luhur. Dia perempuan jujur. Tapi sungguh, dia yang membuat kejantananku seolah terkubur.

Rentak tari diiringi gendang, seketika membuyarkan perhatianku dari Dara. Benar kata Paiman, salah seorang penari ronggeng memang sangat seksi. Bokongnya bagai bongkahan labu. Dadanya ibarat kelapa gading yang menjadi obat setiap mata. Kelentikan jemarinya, duh... membuatku tergila. Hanya saja aku tak bisa menikmati secara utuh sebarapa cantik wajahnya. Karena si perempuan ronggeng itu menutupi wajahnya dengan topeng.

Rentak tari semakin menghentak. Paiman mempersilahkanku mengiringi gerak si perempuan seksi, layaknya elang mengitari mangsa. Sejenak kulirik Dara. Kuingin tanggapan dari tatap matanya. Tapi sungguh, aku merasa menjadi orang yang sangat tolol. Sudah pasti tak ada sepercik tanggapan di situ, meskipun aku menari bersama si ronggeng. Meskipun aku memeluknya. Meskipun, ya...katakanlah aku sampai menidurinya. Bagi Dara sama saja. Karena toh dia tak mencintaiku. Jadi, apapun yang hendak kulakukan, sudah pasti dia cuek saja.

Kali ini kuingin Dara menyimpan rasa cemburu manakala kutermabuk pada geliat si ronggeng. Walau tak ada cinta di hati Dara, setidak-tidaknya dia terhina tersebab aku berani berselingkuh di depan matanya.

Si ronggeng mendekat. Dia menggoyang-goyang pinggulnya menghantam pahaku. Dia semakin mendorongku menjauhi arena tarian itu. Menjauh ke dekat rerimbun perdu di ujung lapangan. Paiman dan beberapa penonton bersuit-suit. Dara melemparkan senyum kesenangan kepadaku. Senyum lepas dan penuh kemenangan.

Si ronggeng bertambah menguasaiku. Ketika aku terhempas ke dalam rerimbunan perdu, si ronggeng melepas topengnya. Dia tertawa puas melihatku ketakutan. Saat itulah aku sadar dalam bahaya. Saat itulah aku tahu tak akan memiliki cinta Dara sampai kapan pun, Sementara untuk menolak bahaya, aku tak sanggup. Sebilah pisau di tangan si ronggeng, seketika menyentuh dadaku. Lalu nyeblos menyentuh dinding jantungku. Dingin. Mematikan. 

Dalam sekarat aku hanya bisa berkata, "Bajingan kau Parmin! Brengsek kau Parmin! Ach......"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun