Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penari Ronggeng

6 Maret 2019   21:44 Diperbarui: 7 Maret 2019   06:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lupakanlah lelaki itu, Dara! Lupakanlah!" Aku mendengus. Kututup jendela, sehingga samar kulihat wajah Dara dijilati lampu 5 watt yang nemplok  di dinding. "Apa yang harus kuberikan kepadamu, agar cintamu bisa kudekap?"

"Tak ada! Saya hanya mencintai Parmin. Yang mencintai Tuan hanya ayah Kasirun dan ibu Saftiani," jawabnya sambil menyebutkan dua nama orangtuanya. "Mereka telah mencintai harta Tuan, dan samasekali tak mencintai anak sibiran tulang yang nelangsa karena cintanya tergadai."

Darahku mendidih. Tapi selalu saja tak bisa melimpah, sehingga menyatu dengan kata-kata, atau dengan gerak tubuhku semacam menampar Dara. Aku sangat mencintai perempuan di depanku. Jangankan menampar, mengucapkan kata-kata yang kasar pun, aku tak kuasa. Kecuali kali ini, memberinya sedikit "cubitan" yang kuarahkan kepada Parmin. Agar Dara bisa memahami bahwa sangat berbahaya mencintai seseorang yang begitu kubenci.

"Berarti Parmin harus kubunuh, agar kalian sama sekali tak bisa bersua lagi." Aku merebahkan tubuh di hadapan Dara. Sempat kulihat kebencian dan kecemasan beradu di kilat matanya. Ini hanya lecutan baginya. Pelajaran supaya dia berpikir untuk segera melupakan lelaki yang sangat dicintainya.

Pelan malam beringsut ke dini hari. Dara masih berdiam diri sambil memeluk kedua belah lututnya. Dia sesunggukan. Namun, semuanya terbiar di segala lelap yang seketika menerjang mataku.

* * *

"Juragan mau menanggap tari ronggeng?" Paiman datang dengan tergopoh-gopoh. 

"Menanggap tari ronggeng? Gila kau! Tadi malam sudah ada gamelan dan tari-tarian. Untuk apalagi hiburan lain malam ini? Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Nyonya Ronggo!" Paiman pasti mengerti yang kusebut Nyonya Ronggo adalah Dara. Anehnya, dia tak langsung beringsut pergi. Dia hanya tersenyum simpul seolah menyembunyikan sesuatu yang menggelikan.

"Kenapa kau tersenyum?" Aku mengerling ke arah pintu luar. Di situ ada Dara yang sedang menatapku dengan sorot mata yang tak sanggup kutebak artinya.

"Maaf, Juragan. Tapi penarinya seksi." Paiman berbicara seolah berbisik.

"Tak perduli!" Kali ini aku tak ingin diganggu perempuan kecuali oleh Dara. Meski perempuan itu seksi selangit. Meski aku amat senang digoda penari-penari yang binal. Toh, kehadiran Dara dan keliaran hatinya lebih membuatku bergairah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun