"Kita ke gedung itu saja!" Dia menunjuk ke arah bangunan yang di halamannya berdiri sebuah patung timbangan.
Di dalam kami menemukan seorang lelaki berperut buncit dengan wajah bulat bersih seperti bulan purnama. Di hadapannya lelaki berkacamata tebal yang keningnya selalu berkeringat. Dia meremas-remas tangannya sendiri.
Si perut buncit berkata, "Bagaimana, Pak? Uang pemberian saya bisa membebaskan saya dari segala tuntutan? Atau masih perlu saya tambah sekoper lagi?"
Si Kacamata tebal menjawab, "Hmm, bagaimana, ya!"
"Kalau bapak mau, saya segera siapkan. Tapi ini berbentuk cek saja. Tolong dengan tambahan ini, bapak menuntut orang yang menyebutku penjahat pengadilan bahwa mereka telah melakukan pencemaran nama baik."
Ada sepercik senyuman menghiasi ujung bibir sahabatku. Sayang, sebelum dia merayu si kacamata tebal, dia langsung terkena sikunya.
"Jangan mencoba-coba merayuku, brengsek! Aku bisa melakukannya sendiri dan lebih rapi. Menuruti rayuanmu, itu berarti berbagi hasil. Tak bisalah, yaouw!"
Sahabatku bergulingan di lantai. Dia pingsan. Aku kasihan dan membopongnya pulang ke rumahku. Kukipasi badannya yang tampak semakin kurus. Tatkala siuman, dia pun melompat.
"Semua orang telah mengambil pekerjaanku. Jadi, untuk apa lagi aku berada di dunia ini. Aku sangat kecewa. Terlebih kecewa, karena kau juga sudah sama seperti mereka!"
Aku tersinggung disebutnya sama seperti orang-orang brengsek itu. "Tak bisa! Aku tetap kyai yang bertugas mengajak orang-orang ke jalan yang benar."
"Dasar pembohong! Kau juga ingin merebut pekerjaanku. Pertama, tadi kau telah lupa melakukan shalat maghrib!" ketusnya. Aku membelalak. Perutku seketika mules. Mengapa aku bisa lupa shalat maghrib? "Kedua, kau juga sudah mengintip orang berbuat zina tanpa berusaha mencegah. Dan kulihat kau sangat menikmatinya." Ulu hatiku seperti ditusuk ribuan jarum. Aku sama sekali tak mampu memberikan argumen. "Ketiga, kau juga telah memasuki gemerlap diskotik dan dunia malam. Ah, aku sangat kecewa!"