Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Senja Gerimis Turun

8 Februari 2019   11:20 Diperbarui: 8 Februari 2019   11:54 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Sahabatku itu mendengus. Dia paling benci melihat orang berkasih-mesra. Karena itu sampai saat ini dia belum menikah. Bukan tersebab mengidap homo tentu, tapi dia memang tak ingin terikat. Dia tak ingin diatur oleh orang yang berseberangan dengannya. Mungkin bila ingin, di akan (maaf) onani.

"Setan kau!" Begitu dulu dia menjawab ejekanku tentang onani.

"Bukannya...." Aku langsung menjawab dengan tawa berderai.

Baiklah, sekarang kulanjutkan perjalanan kami. Dia mengajakku ke sebuah kamar kos-kosan. Aku sengaja dibiarkan di luar, dan hanya boleh mengintip dari lobang di dinding. Sementara dia masuk ke dalam mendekati sepasang insan yang berlainan jenis. Sang lelaki berwajah kepiting rebus menahan nafsu. Sang perempuan menunggu dengan napas memburu. Maka sahabatku itu mencoba merampungkan cerita lebih cepat. "Ayo, lakukanlah selagi waktu dan kesempatan ada!"

Apa yang hasil yang didapatkan sahabatku itu? Hahaha, dia terjengkang sampai tulang punggungnya menghantam dinding. Tanpa dirayu, ternyata sepasang insan berlainan jenis itu dapat melakukan semuanya begitu sempurna. Kata si lelaki, "Tak perlu dirayu, mereka sudah memiliki inisiatif melakukannya!"

Sahabatku keluar dari kamar kos-kosan dengan wajah lesu. Katanya, "Kau lihat, kan? Tanpa kurayu mereka langsung berbuat seenak perut mereka. Tapi ini belum seberapa. Mari kita ke tempat lain."

Kami memasuki sebuah tempat yang bergemerlap cahaya dengan orang-orang yang tampak setengah gila. Tapi langkahku terhenti ketika seorang penjaga menjegal kaki ini. Dia meminta karcis. Segera kukeluarkan dari kantong celana dua lembar limapuluhan ribu. Dia tertawa senang. Harga karcis lebih murah dari itu. Karena pakaianku tak wajar masuk ke dalam, dia menyewakanku pakaian ketat. Kalau aku menolak, maka aku tak boleh masuk.

Sambil bersungut-sungut kuikuti langkah sahabatku. Kami duduk melingkar bersama lelaki perempuan di atas sofa. Di depan kami, di atas meja, bermacam minuman beralkohol tinggi membuar aroma memuakkan. Belum sempat sahabatku merayu, mereka langsung menenggak minuman itu tak tanggung-tanggung. Aku ditawarkan sebotol. Kutampik karena aku hanya sanggup meminum softdrink, sedangkan sahabatku menangis karena orang-orang itu yang lebih dulu menawarkannya minuman. Juga pil, juga cimeng  dan shabu-shabu.

Sahabatku kehabisan akal. Dia mendekati seorang perempuan yang sedang menari di atas stage.  Sayang, belum sempat mengajaknya bercakap, si perempuan langsung menelanjangi dirinya sendiri dan memeluk erat perempuan di sebelahnya.

Sahabatku langsung berlari ke luar. Dia menangis tersedu-sedu.

"Cukup sudah! Aku sudah mengakui ceritamu. Sekarang bagaimana?" Aku menepuk-nepuk bahunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun