Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Senja Gerimis Turun

8 Februari 2019   11:20 Diperbarui: 8 Februari 2019   11:54 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Sampai sejauh itu? Padahal aku tahu kau memiliki daya pikat hampir menyamai sejuta perempuan. Kau sangat memabukkan dan dipuja-puja."

"Aku sekarang tak bergaji  lagi kawan. Aku ditendang karena tak bisa memberikan sesuatu yang berarti buat kelompokku. Begitupun, bukan hanya aku yang bernasib demikian. Hampir semuanya, sehingga bisa dikatakan kami akan bangkrut."

"Mengapa bisa begitu?" kejarku.

Dia terdiam sejenak. Dia berdiri menjauh. Mendekat lagi, lalu menggasing mengelilingiku. Dia sudah pening barangkali!

"Kau tahu dulu gajiku melimpah setiap kali mengajak orang-orang mengikuti langkahku. Aku bisa membelikan segalanya. Seperti perjanjian dari penguasa kami, aku akan diberikan kenaikan pangkat yang simultan dengan keberhasilan-keberhasilanku. Aku bisa meminta jatah pekerjaan untuk mengajak mereka-mereka yang memiliki idealisme atas jalan pilihannya, supaya melintas di jalan kami. Kau tahu, semakin banyak aku menumbangkan  mereka-mereka yang idealis, semakin naik pula pamorku. Aku bisa memesan kapling-kapling di tempat yang menungguku sampai kelak tiba waktunya."

"Persoalannya sekarang, apa?"

"Orang-orang itu tak lagi butuh ajakanku ke jalan yang kami atur sendiri. Mereka sudah bisa pergi ke jalan itu tanpa dituntun. Bahkan sebagian lebih gila, mereka malahan mampu menambah jalan-jalan lain seperti yang telah kami buat. Lebih curam dan terjal. Kami sendiri takut melewatinya. Sementara mereka tidak sama sekali. Yang paling menyakitkan hati, merekalah yang berinisitif mengajakku ke jalan-jalan itu. Bukan aku atau kawan-kawan lain. Otomatis, merekalah yang sekarang bekerja. Penguasa kami mencak-mencak. Kami dibilang tak becus. Terlebih-lebih sudah ada perobahan aturan dari penguasa, bahwa orang-orang itu, bila sudah kelihatan siap bekerja, akan menjadi petugas-petugas baru, menggantikan kami yang senior. Bahkan sekarang jutaan orang sudah bekerja dengan pongahnya. Itulah yang menyebabkanku menjadi miskin sekarat begini."

Aku tak seratus persen membenarkan ceritanya. Sahabatku itu pembohong super wahid. Sejuta yang diomongkannya, hanya satu yang benar. Itupun kebenarannya masih diragukan.

Berhubung dia ingin membuktikan kebenaran ceritanya, maka kuturuti saja ajakkannya. Panggilan istriku untuk makan malam, hanya kujawab dengan tolakan halus. Kataku, aku ingin jalan-jalan dulu menghilangkan penat.

"Apa mau berganjen?" tanya istriku cemberut.

"Setua ini ingin menggatal, apa dayaku?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun