Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jangan Sebut Saya Pikun

7 Februari 2019   14:01 Diperbarui: 8 Februari 2019   20:57 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Hati saya langsung terenyuh, sehingga harus mendatangi Pak Suaib, guru spiritual saya. Saya ceritakan kepikunan yang melanda saya. Saya ceritakan tentang kondisi kesehatan dan daya pikir yang mulai menurun. Apakah ini waktu yang tepat meninggalkan istana bisnis yang telah susah-susah saya rintis, lalu menyerahkannya kepada anak muda?

"Semuanya memang harus berakhir Mas Handoko. Sesuatu yang memiliki awal, memang harus berakhir. Segala yang muda, pasti akan tua. Kita tak bisa terus-terusan menjalani hidup layaknya tenaga muda. Sudah kodrat alam, bila yang tua layu, maka yang muda wajib menggantikannya. Menurut saya, akan banyak kekeliruan bila Mas masih ngotot menjalankan perusahaan itu dibawah pimpinan Mas sendiri."

"Tapi saya takut menyerahkannya kepada anak-anak. Pak Suaib tahu sendiri kan bagaimana sikap anak muda sekarang? Mereka tak sabaran. Mereka maunya serba instant. Tak mau bersusahpayah. Apa-apa diselesaikan dengan uang. Perlu sesuatu harus lewat uang. Padahal, bukankah tak semua urusan harus diselesaikan dengan uang? Lagipula, saya takut perusahaan akan bangkrut."

"Sudahlah! Mas tak usah pusing-pusing. Masa kejayaan Mas sudah berakhir. Kini tinggal generasi muda melanjutkannya. Mas hanya harus bersiap-siap bekal akhirat," tekannya. "Mas harus banyak-banyak beramal dan beribadah."

* * *

Akhirnya seluruh perusahaan saya serahkan kepada anak-cucu. Sementara saya mendekam di sebuah panti werdha di pinggiran kota Palembang.

Saya sempat mendengar sekali-dua kondisi perusahaan ekspedisi itu. Saya tahu telah terjadi perebutan kekuasaan di dalamnya. Saya tahu keadaannya sudah gonjang-ganjing. Tapi siapa yang peduli?

Sekarang saya tenang dan senang saja. Sebab seseorang yang selalu membuat hati ini berbunga-bunga, hampir setiap pagi-petang bersua saya. Dia Rahimah. Perempuan berumur enam puluh limaan tahun.

Kami sudah bertekad suatu hari akan melarikan diri dari panti werdha. Kami ingin menikah diam-diam. Kemudian membangun mahligai rumah tangga di suatu tempat entah di mana. Ya, suatu saat nanti. Namun sungguh saya ingin mengingatkanmu, jangan sekali-sekali menyebut saya pikun. Hanya itu!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun