Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jangan Sebut Saya Pikun

7 Februari 2019   14:01 Diperbarui: 8 Februari 2019   20:57 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Saya sungguh tak ingin dianggap lelaki tua yang pikun, meskipun sekarang sudah berumur hampir tujuh puluhan tahun. Coba lihat di cermin, saya masih seperti lelaki berumur limapuluhan, kan? Belum pantas meninggalkan bisnis ekspedisi yang hampir empatpuluh tahun saya geluti.

Alangkah bodohnya, bila di masa kejayaan ini, saya membiarkannya terbengkalai, dan mewariskannya kepada anak sulung saya yang belum tentu memiliki visi dan misi seperti saya. Bisa-bisa perusahaan bangkrut karena dia terlalu royal menggunakan kas perusahaan. Dia tak paham manajemen. Selalu memperturutkan hawa nafsu.

Tentu memalukan dan menyakitkan, bila suatu hari kelak perusahaan yang saya rintis sedikit demi sedikit. Jatuh-bangun sampai saya hampir stress. Lalu ambruk secepat membalik telapak tangan.

Saya juga paling tak senang ketika mendengar anjuran anak-cucu untuk istirahat, sebab pikiran saya bukan seperti dulu lagi. Saya tahu, itu ucapan yang diperhalus saja. Mereka hanya ingin mengatakan saya pikun.

Butuh seseorang untuk merawat, misalnya perempuan, setelah mendiang istri saya pergi ke alam baka sekian tahun lewat. Maka saya selalu berusaha selalu kelihatan tegar di mata anak-cucu. Pagi-pagi saya bangun dan berolahraga mengelilingi komplek perumahan, sementara anak-cucu mungkin masih mendengkur kedinginan.

Saya pun paling anti ditemani ke mana-mana. Seperti seseorang yang harus dituntun. Diingatkan berulang-ulang untuk sesuatu yang memualkan. Misalkan; jangan lupa meminum obat, rokoknya dikurangi kalau tak ingin bengeknya kambuh, dan seabrek nasehat yang membuat telinga saya tersumbat dan pikiran mampet.

Salah satu penyelesaiannya, paling-paling saya menuju kantor. Melihat kesibukan karyawan menjalankan operasional bisnis ekspedisi. Ketika jenuh, saya akan mengunjungi restoran eksotis bergaya dan menu prancis di pusat kota Palembang.

Tapi di situ, saya tak memesan menu aneh-aneh, misalnya pizza, atau spaghetti atau salad buah. Brengsek makanan itu! Membuat saya harus sering ke kakus karena perut tak menerima.

Pilihan terbaik saya, pastilah setumpuk roti bakar, dan secangkir cappuccino. Mungkin-mungkin kalau kepingin menyeruput seloki vodka. Namun, husss.... Ini diam-diam. Bisa berabe kalau anak-cucu mengetahui perbuatan saya.

Nah, seperti hari ini, setelah bertengkar dengan anak sulung saya mengenai hobbi buruk saya menikmati es krim sembunyi-sembunyi, pilihan terbaik adalah melongok ke perusahaan. Dilanjutkan mengunjungi restoran itu sendirian. Tawaran sopir dan bodyguard di rumah untuk menemani, tak saya ladeni. Saya bersiap-siap memotong gaji bulanan mereka bila masih membantah.

Ah, lega rasanya setelah berada di meja paling sudut di restoran itu. Hawa sejuk AC membanjiri badan saya. Sengaja saya pesan seloki vodka, dan ingin mengisap cerutu. 

Tapi pilihan kedua itu dilarang, karena restoran bebas asap rokok. Terpaksalah saya mengunyah permen karet sambil menunggu roti bakar dihidangkan beserta secangkir cappuccino, dan itu tadi, seloki vodka.

Hmm, anak-cucu saya memang brengsek. Mereka selalu mengatur segala kehidupan saya. Padahal dari dulu hingga sekarang, sayalah yang memberikan mereka "hidup". 

Mengapa sekarang mereka ceriwis dengan kata-kata memualkan; Bapak, jangan jalan-jalan terlalu jauh bila tak ditemani seseorang. Kalau ada apa-apa, coba siapa yang mau membantu. Bapak jangan lupa bawa inhaler. Nanti bengek Bapak kambuh. Bapak jangan merokok. Bapak jangan makan es krim. Jangan mengunyah permen karet. Jangan.... Setan!

Seorang perempuan berumur sekitar tiga puluhan tahun, akhirnya meluruhkan kekesalan saya. Dia berwajah cantik. Pipinya montok dengan dada sedikit membusung. Perempuan yang menjadi idola saya sejak dulu.

Tapi apa yang bisa diharapkan pada lelaki tua seperti saya? Perempuan itu pasti tak tahu ketampanan saya sekian puluh tahun lewat. Dia hanya bisa melihat saya sekarang. Seorang lelaki yang wajib dibantu. Dikasihani.

Setelah menghabiskan seloki vodka, saya menambahkan dua loki lagi, yang membuat perempuan itu mengakhiri sikap berdirinya dan mendekati meja di seberang saya. Begitu mata kami bersitatap, dia langsung tersenyum.

Dia memberi isyarat, dengan jari telunjuk, seolah menanyakan apakah kursi di samping saya ada pemiliknya. Buru-buru saya menjawab dengan kode gelengan kepala.

"Sendirian, Pak?" tanyanya lembut. Dia memesan sepiring spaghetti dan segelas lemon hangat.

"Ya, kamu?" balas saya. Dia menjawab bahwa dia sendirian juga.

Obrolan pun panjang, sampai menyinggung masalah bisnis saya. Mengenai umur, saya selalu menghindari membicarakannya. Saya hanya mengatakan sekilas, tentang hidup saya yang membujang setelah ditinggalkan mendiang istri saya.

Naluri kelelakian saya muncul. Saya berharap banyak kepada perempuan itu, yang belakangan saya tahu bernama Lolita. Saya berharap dia belum mempunyai kekasih, apalagi seorang suami. Saya ingin menikahinya. Toh saya masih sanggup menghidupinya lahir maupun batin.

Sayang, ujung-ujungnya dia berterus terang sudah memiliki kekasih. Bahkan yang paling menyakitkan, dia tak sengaja mengatakan tentang tujuannya ke restoran. Sebenarnya dirinya adalah suruhan Sasongko, anak sulung saya. Dia disuruh mengawasi saya. Syukur-syukur bisa meluluhkan hati saya, demi menerimanya sebagai grandfather sitter (bukan babysitter) saya.

Akhirnya, rasa cinta yang terpendam ini menjadi emosi menggelegak. Saya tak jadi menikmati makanan dan minuman itu. Saya pergi setelah membayar seluruhnya. Saya katakan kepadanya bahwa si tua ini bukanlah pikun. Saya tetap gagah meskipun berusia lanjut. Ingatan saya masih terang, bahkan lebih terang dari ingatannya.

Dia berusaha meminta maaf berkali-kali. Saya tak perduli. Saya bergegas pergi meninggalkan restoran, lalu menyetop taksi. Saat itulah saya melihatnya berdiri di luar sana dengan wajah tertunduk. Saya tahu dia menangis. Taksi saya suruh berhenti, dan si perempuan saya serahi uang duaratus ribu. Saya ucapkan terima kasih atas waktunya menemani saya.

Taksi pun lekas meninggalkan semuanya. Tapi membekaskan kekesalan di hati ini. Juga setumpuk kejanggalan. Saya merasa asing. Saya merasa telah kehilangan sesuatu. Mungkinkah karena meninggalkan perempuan itu. Atau...

Pikiran saya terus berkecamuk hingga  di rumah. Kebetulan Sasongko bertamu. Dia mengernyit heran. Sontoloyo itu pasti kecewa karena Lolita, suruhannya, tak berhasil menjadi lollipop yang sanggup mendiamkan saya.

Setelah membuka sepatu dan kaos kaki, segera saya duduk di sofa seraya memesan segelas jeruk hangat kepada pembantu. Kehadiran Sasongko tak saya perdulikan. Saya menganggapnya tak ada.

"Pak, Bapak telah...." Dia menggantung ucapannya karena saya langsung menyela.

"Ya, saya telah meninggalkan perempuan suruhanmu, bahkan membuatnya menangis. Kau tak senang? Apakah kau lebih setuju membiarkan bapakmu ini bersedih, ketimbang membuat perempuanmu itu menangis? Sudah saya bilang berkali-kali, jangan membuat saya seperti si pikun yang renta. Umur memang tua, namun semangat juang tetap membara. Saya masih bisa mengalahkanmu bermain bulutangkis dua set langsung," tembak saya membuat matanya seperti terjengkang. Dia tak sanggup menjawab karena memang kurang bisa berolahraga.

Sesudah pembantu menghidangkan segelas jeruk hangat, Sasongko kembali berbicara. Kali ini lebih lembut. Katanya, "Maksud saya, Bapak telah meninggalkan mobil di suatu tempat. Bukankah tadi Bapak pergi dengan menyetir mobil sendiri."

Oalah! Saya baru tersadar, Kekalahan telak karena saya tak sadar meninggalkan mobil di parkiran restoran. Terus terang, hal ini sangat kuat menohok ulu hati saya. Saya tak lagi sanggup berbicara. Lupa membawa sesuatu yang besar seperti mobil, kembali ke garasi rumah, merupakan bukti yang akurat betapa saya sudah pikun.

Bahkan besok-besoknya, kepikunan berlanjut terus. Dari kelupaan meletakkan kacamata di mana. Lupa mandi. Lupa gosok gigi sebelum tidur. Bahkan sampai tak ingat bersepatu ketika berkunjung ke perusahaan ekspedisi.

Hati saya langsung terenyuh, sehingga harus mendatangi Pak Suaib, guru spiritual saya. Saya ceritakan kepikunan yang melanda saya. Saya ceritakan tentang kondisi kesehatan dan daya pikir yang mulai menurun. Apakah ini waktu yang tepat meninggalkan istana bisnis yang telah susah-susah saya rintis, lalu menyerahkannya kepada anak muda?

"Semuanya memang harus berakhir Mas Handoko. Sesuatu yang memiliki awal, memang harus berakhir. Segala yang muda, pasti akan tua. Kita tak bisa terus-terusan menjalani hidup layaknya tenaga muda. Sudah kodrat alam, bila yang tua layu, maka yang muda wajib menggantikannya. Menurut saya, akan banyak kekeliruan bila Mas masih ngotot menjalankan perusahaan itu dibawah pimpinan Mas sendiri."

"Tapi saya takut menyerahkannya kepada anak-anak. Pak Suaib tahu sendiri kan bagaimana sikap anak muda sekarang? Mereka tak sabaran. Mereka maunya serba instant. Tak mau bersusahpayah. Apa-apa diselesaikan dengan uang. Perlu sesuatu harus lewat uang. Padahal, bukankah tak semua urusan harus diselesaikan dengan uang? Lagipula, saya takut perusahaan akan bangkrut."

"Sudahlah! Mas tak usah pusing-pusing. Masa kejayaan Mas sudah berakhir. Kini tinggal generasi muda melanjutkannya. Mas hanya harus bersiap-siap bekal akhirat," tekannya. "Mas harus banyak-banyak beramal dan beribadah."

* * *

Akhirnya seluruh perusahaan saya serahkan kepada anak-cucu. Sementara saya mendekam di sebuah panti werdha di pinggiran kota Palembang.

Saya sempat mendengar sekali-dua kondisi perusahaan ekspedisi itu. Saya tahu telah terjadi perebutan kekuasaan di dalamnya. Saya tahu keadaannya sudah gonjang-ganjing. Tapi siapa yang peduli?

Sekarang saya tenang dan senang saja. Sebab seseorang yang selalu membuat hati ini berbunga-bunga, hampir setiap pagi-petang bersua saya. Dia Rahimah. Perempuan berumur enam puluh limaan tahun.

Kami sudah bertekad suatu hari akan melarikan diri dari panti werdha. Kami ingin menikah diam-diam. Kemudian membangun mahligai rumah tangga di suatu tempat entah di mana. Ya, suatu saat nanti. Namun sungguh saya ingin mengingatkanmu, jangan sekali-sekali menyebut saya pikun. Hanya itu!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun