Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kamar Tigabelas

12 Januari 2019   23:06 Diperbarui: 13 Januari 2019   00:59 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketegangan lelaki itu mengendor. "Siapa yang membawa senjata? Ini hanya koran kriminal yang kubeli barusan di  bawah." Dia menunjukkan benda di pinggangnya. Benar selembar koran!

Lama akhirnya mereka berdiam diri. Pinto mencicipi makanan dan minuman pemberian Pramono. Selanjutnya bincang-bincang sejenak tentang masa lalu. Kegiatan bisnis dan hobby. Begitu Pramono membincangkan masalah seks, dan bermaksud men-servis Pinto dengan seorang pramuria hotel, langsung tampikan yang diterima. Pramono heran. Bagaimana mungkin dia menolak tawaran menggiurkan? Apakah dia tak ingin terjebak dalam seks, sehingga tugas utamanya terlupa? Atau, ah.... Pramono berharap lelaki itu memiliki kelainan syahwat seperti dirinya.

Seketika berdesir darah dari kaki Pramono ke ubun-ubun. Dia memiliki rencana menakjubkan. Pertama, dia akan membuat lelaki di depannya terlena. Kedua, mereka akan melepaskan jam-jam sempit sampai pagi tiba. Ketiga, tatkala lelaki itu tertidur, dia akan merencanakan idenya yang cemerlang.

Dia segera mengambil senjata laras pendek di lemari. Wajah orang itu ditutupnya dengan bantal. Moncong senjata ditempelkan. Dan blub, peluru meluncur deras melewati bantal. Membuyarkan wajah Pinto yang tampan. Mudah-mudahan senjata Pramono tak terlalu keras bersuara. Lalu barang yang dibawa Pinto---sesuai janji adalah morfin---berpindahtangan. Itu artinya, uang Pramono utuh. Mengenai mayat, perkara mudah. Tubuh Pinto akan dibuangnya melalui jendela. Orang-orang pasti ribut dan menganggapnya bunuh diri. Bila polisi tiba-tiba campurtangan, Pramono sudah terbang kembali ke kotanya. Dia akan menghilang serupa jarum yang dilemparkan ke tumpukan jerami. Karena resepsionis hotel di bawah, hanya memegang ktp palsunya sebagai jaminan. Mengenai wajah, juga tak harus dipusingkan. Dengan uang dan morfin yang lumayan banyak, Pramono bisa langsung face off ke Singapura. Hahaha!

"Apakah anda takut saya jebak?"

Pinto duduk di pinggir tempat tidur. Dia berbaik hati melahap makanan dan minuman pemberian Pramono. "Tidak juga."

"Lalu?"

"Saya menyukai sesama lelaki!" tekannya parau. "Aku menyenangimu," bisiknya sambil memegang tangan Pramono yang mengambang.

Pramono merasa tersanjung. Tapi dia tetap harus berkonsentrasi. Dia tak ingin rasa cinta yang menggebu, mengalahkan akal sehatnya. Bila alam bawah sadar yang bekerja, Pinto kemungkinan menggunakan taktik lain. Jadi, bukan Pinto yang terbunuh, sebaliknya Pramono sendiri.

"Apakah kita bisa memulai sekarang?" Pramono ditantang. Tak sadar tubuhnya bergetar.

"Boleh! Saya membuka pakaian dulu." Pramono berbalik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun