Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kamar Tigabelas

12 Januari 2019   23:06 Diperbarui: 13 Januari 2019   00:59 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamar bernomor tigabelas itu seperti disediakan khusus untuk Pramono. Sebab seluruh kamar di hotel telah terisi penuh. Tadi dia sudah komplain kepada resepsionis di lobby, mengapa ditempatkan di situ. Dia juga heran, kenapa sebuah hotel sampai memiliki kamar bernomor tigabelas. Selama melanglang buana di seluruh pelosok Indonesia, dia belum pernah menemukan sebuah hotel atau penginapan melati pun yang menyediakan kamar bernomor demikian.

Tapi Pramono mencoba menyenang-nyenangkan hati. Kamar yang ditempatinya lumayan menarik. Dindingnya sengaja tak diplester, sehingga bata merah terlihat menyembul di antara ikatan semen dan pasir. Menunjukkan khas naturalis. Sebuah kasur busa dengan seprei dan selimut berwarna coklat gelap, menambah rasa nyaman. Warna itu warna kesukaan lelaki ini. Sebuah televisi layar datar di sudut kamar, berdiri anggun di atas meja jati. Lalu ada sebuah lemari dua pintu---lemari es. Dan sebuah cermin oval yang dibingkai kayu jati berukir gambar naga dua ekor. Kedua kepalanya bertemu di atas, membuka mulut lebar-lebar, dan seperti memuntahkan api. Benda itulah yang mengurangi rasa suka Pramono terhadap kamarnya.

Kamar itu menghadap ke barat. Dia dapat melihat matahari terbenam dengan siluet merah. Dia membuka jendela sambil menatap jauh ke ujung bumi. Ketika suara pintu kamar diketok, buru-buru dia menutup jendela. Berjalan menuju pintu, lalu melihat seorang room boy membawa perlengkapan mandi. Katanya, "Ac-nya tak dihidupan, Tuan?"

Pramono tersenyum. Kiranya dia lupa melihat fasilitas yang satu itu. Dia memang tak menyukai ac. Hawa dingin membuatnya menggigil. Bisa-bisa dia sesak napas. Dan ini tak boleh terjadi sebelum semua urusan kelar.

Setelah room boy keluar, bergegas dia buka sepatu. Membuang kaos kaki ke kolong tempat tidur, lalu membuka seluruh pakaian. Dia telanjang, hilir-mudik, tanpa malu. Ya, untuk apa malu. Dia hanya sendirian di situ. Sebelum sebentar lagi, ya.... Sebentar lagi. Dia dililit rencana yang berkecamuk sambil mandi.

Usai mandi, dia mendekati cermin oval. Dia melihat bekas luka yang memanjang dari pangkal leher sampai ke puting dada. Dia menghembus cermin yang berkabut itu. Diusap-usap, sehingga wajahnya kelihatan jelas. Tapi tunggu dulu! Kenapa wajahnya mendadak aneh? Kenapa bulu kuduknya langsung berdiri? Dia kemudian merasa melihat sebuah bayangan melintas di cermin.

"Ach!" teriaknya. Tak sadar dia menyenggol lemari es, membuat pintunya terbuka. Beberapa kaleng bir berhamburan keluar. Dia panik. Buru-buru dia rapikan kembali. Kemudian menutup pintu lemari es rapat-rapat.

Dia langsung mengenakan pakaian, sehelai kaos oblong berwarna gelap untuk atasan, lalu jeans sebagai bawahan. Sepucuk senjata laras pendek, dia keluarkan dari tas ransel, diletakkan di lemari pakaian. Lalu dia meminta dua piring nasi goreng spesial dan jus mangga kepada room boy.

Akhirnya dia duduk diam seperti pemburu menunggu mangsa. Cermin yang menakutkan itu, telah ditutupnya dengan selimut. Sekadar membunuh pikiran yang bukan-bukan.

Telepon selularnya mendadak berbunyi. Dari Pinto. Cepat-cepat disapanya orang itu, "Sudah di mana?"

"Di bawah! Kamar berapa?"

"Tigabelas!"

Klik! Telepon selular dimatikan. Dia kembali pada sikap semula. Dia menunggu ketukan di pintu kamar. Sekilas dia lihat lemari, mudah-mudahan senjatanya aman. Dia menekuk-nekukkan lima jari tangan ke atas paha. Sepertinya dia cemas.

Tak lama, ketukan bergema. Pramono berdiri. Membuka pintu dengan harap-harap cemas. Seperti apakah lelaki yang bernama Pinto itu? Sangar, layaknya pebisnis narkoba? Atau, barangkali kemayu, senang bersolek? Hmm, dia membayangkan seorang lelaki gagah dengan dada bidang. Mudah diajak bergaul, juga cepat faham situasi. Darahnya berdesir, tapi dia berusaha untuk tetap waras, agar semua rencana berjalan lancar.

Ternyata orang yang berdiri di depan pintu kamar adalah si room boy. Dia membawa dua piring nasi goreng dan dua gelas jus mangga. Setelah dia meletakkan seluruh pesanan di meja, barulah Pramono sadar. Wajah si room boy masam. Pasti karena dari tadi belum mendapat tip. Begitu digenggamkan uang seratusan ribu ke tangan si room boy, wajahnya kontan sumringah. Berulang-ulang dia mengucapkan terimakasih, sehingga telinga Pramono penuh.

"Pokoknya seluruh yang terjadi di sini kau buat aman, ya!"

"Siap, Bos!" Si room boy tersenyum nakal. Ujung matanya menangkap seorang lelaki lain berdiri di ambang pintu. Lelaki bertubuh atletis, dibalut jas ketat. Tatapannya yang tajam, membuat si room boy buru-buru keluar.

"Pasti anda Pinto, kan?" Pramono senang. Harapannya tentang sosok lelaki gagah kiranya berhasil.

"Ya! Barang yang kubawa sudah cukup. Uangnya mana? Harus tunai, tanpa panjar, apalagi sampai berbentuk cek atau giro."

Pramono menutup pintu. Sebelumnya dia pastikan suasana di lorong-lorong hotel sepi tanpa orang. Lalu dia persilakan Pinto agar rileks. Sepiring nasi goreng dan segelas jus mangga, diangsurkannya kepada lelaki itu. Sementara dia sendiri langsung melahap makanan dan minumannya karena lapar yang sangat sejak turun dari pesawat sekian jam lalu.

"Aku tak mau terjebak! Sekarang kembali ke bisnis kita," tegas Pinto.

"Sabar dulu! Duduk di sini! Bukankah bisnis kita terus berlanjut dan kita menjadi mitra selamanya." Sembunyi-sembunyi Pramono memperhatikan sekeliling badan Pinto. Sepertinya lelaki itu sudah siap atas segala bencana yang bakal menimpa. Pramono melihat tonjolan di pinggang kiri Pinto. Pasti sebuah senjata laras pendek. "Membawa senjata?" sindirnya.

Ketegangan lelaki itu mengendor. "Siapa yang membawa senjata? Ini hanya koran kriminal yang kubeli barusan di  bawah." Dia menunjukkan benda di pinggangnya. Benar selembar koran!

Lama akhirnya mereka berdiam diri. Pinto mencicipi makanan dan minuman pemberian Pramono. Selanjutnya bincang-bincang sejenak tentang masa lalu. Kegiatan bisnis dan hobby. Begitu Pramono membincangkan masalah seks, dan bermaksud men-servis Pinto dengan seorang pramuria hotel, langsung tampikan yang diterima. Pramono heran. Bagaimana mungkin dia menolak tawaran menggiurkan? Apakah dia tak ingin terjebak dalam seks, sehingga tugas utamanya terlupa? Atau, ah.... Pramono berharap lelaki itu memiliki kelainan syahwat seperti dirinya.

Seketika berdesir darah dari kaki Pramono ke ubun-ubun. Dia memiliki rencana menakjubkan. Pertama, dia akan membuat lelaki di depannya terlena. Kedua, mereka akan melepaskan jam-jam sempit sampai pagi tiba. Ketiga, tatkala lelaki itu tertidur, dia akan merencanakan idenya yang cemerlang.

Dia segera mengambil senjata laras pendek di lemari. Wajah orang itu ditutupnya dengan bantal. Moncong senjata ditempelkan. Dan blub, peluru meluncur deras melewati bantal. Membuyarkan wajah Pinto yang tampan. Mudah-mudahan senjata Pramono tak terlalu keras bersuara. Lalu barang yang dibawa Pinto---sesuai janji adalah morfin---berpindahtangan. Itu artinya, uang Pramono utuh. Mengenai mayat, perkara mudah. Tubuh Pinto akan dibuangnya melalui jendela. Orang-orang pasti ribut dan menganggapnya bunuh diri. Bila polisi tiba-tiba campurtangan, Pramono sudah terbang kembali ke kotanya. Dia akan menghilang serupa jarum yang dilemparkan ke tumpukan jerami. Karena resepsionis hotel di bawah, hanya memegang ktp palsunya sebagai jaminan. Mengenai wajah, juga tak harus dipusingkan. Dengan uang dan morfin yang lumayan banyak, Pramono bisa langsung face off ke Singapura. Hahaha!

"Apakah anda takut saya jebak?"

Pinto duduk di pinggir tempat tidur. Dia berbaik hati melahap makanan dan minuman pemberian Pramono. "Tidak juga."

"Lalu?"

"Saya menyukai sesama lelaki!" tekannya parau. "Aku menyenangimu," bisiknya sambil memegang tangan Pramono yang mengambang.

Pramono merasa tersanjung. Tapi dia tetap harus berkonsentrasi. Dia tak ingin rasa cinta yang menggebu, mengalahkan akal sehatnya. Bila alam bawah sadar yang bekerja, Pinto kemungkinan menggunakan taktik lain. Jadi, bukan Pinto yang terbunuh, sebaliknya Pramono sendiri.

"Apakah kita bisa memulai sekarang?" Pramono ditantang. Tak sadar tubuhnya bergetar.

"Boleh! Saya membuka pakaian dulu." Pramono berbalik.

Mendadak telepon selular Pramono berbunyi. Dia gugup. Sebuah pesan masuk. Dari Pinto!

Pinto? Apakah dia mempermainkan aku? Batin Pramono. Kalau saja cermin oval itu  tak ditutupnya dengan selimut, gerak-gerik Pinto bisa dia lihat. Diam-diam Pramono membaca sebaris pesan; Anda di mana? Kamar anda belum saya temukan. Thanks!

Berarti lelaki yang bersamanya bukan Pinto. Lalu siapa dia? Jantung Pramono berdegup kencang. Ketika berbalik, lelaki yang mengaku bernama Pinto itu telah berada di belakangnya. Dia memegang tali, dan langsung menjerat leher Pramono.

Pramono meregang nyawa. Sekonyong dilihatnya selimut yang menutupi cermin oval itu terbang. Seberkas cahaya keluar dari sana. Memiliki tangan yang sangat kuat. Lalu menarik tubuhnya ke dalam. Ke negeri penuh cahaya. Sementara orang yang menyadur Pinto, tersenyum di balik cermin oval yang tertutup rapat.

Besok paginya suasana di kamar hotel bernomor tigabelas itu ramai. Sesosok mayat lelaki dengan mulut berbuih ditemukan terbaring di depan cermin oval. Dia adalah Pramono. Polisi yang mengidentifikainya mengatakan bahwa dia mati karena over dosis. "Dia telah memakai morfin lumayan banyak," kata polisi berpangkat ipda itu. Dia menggeleng-geleng. Sementara pemilik hotel yang hadir di situ, pagi-pagi betul telah dihubungi manajer, lalu dia menyuruh tukang mengganti nomor pintu dengan angka empatbelas plus huruf B.

---sekian---

Ref. Foto : pixabay

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun