Tinggal berbelanja sedikit, baru berjualan tak jauh dari kafe atau sekitar seratus meter dari perempatan jalan tempat biasa Parkijo mangkal. Oh, Tuhan. Terbayang betapa asyiknya menemani lelaki itu berjualan. Pekerjaan yang halal, meski dikotori berdagang minuman keras. Tapi itu lebih baik daripada menjual diri atau memalak orang-orang.
"Kabarnya kau mau menikah dengan Parkijo?" Pertanyaan yang mengejutkan, tapi membuat pipi Sangkot bersemu merah.
"Betul! Darimana kau tahu?"
"Siapa pula yang tak tahu. Beritanya sudah tersebar ke mana-mana." Sintong mengeluh. Dibuangnya rokok yang tak jadi dia sundut. "Tapi kau masih bekerja seperti biasa, kan?"
"Tidaklah! Aku akan menjadi istri setia Parkijo. Melupakan semua kenangan buruk dan meninggalkan pekerjaan memalukan ini."
"Berarti aku tak bisa memilikimu lagi semalaman?"
"Bisa saja, kalau kau memang ingin digebuki Parkijo," seloroh Sangkot. Lelaki di sebelahnya memucat. Dia pasti takut membayangkan Parkijo mengeluarkan pisau cap garpu dari sisi pinggangnya, lalu bles menikamkannya ke ulu hati Sintong. Itu merupakan kejadian yang tak boleh terjadi.
"Ah, kau bisa saja! Tapi malam ini aku ingin memilikimu. Hanya aku tak mampu membayarimu." Sintong berharap cemas.
"Ya, tak apa! Jadilah malam ini gratis saja. Bonus untuk pelanggan terakhir."
Sintong tertawa. Sangkot tersipu sambil mengekori lelaki itu ke arah jalan. Sebuah angkutan kota melintas. Sintong menyetopnya. Berdua mereka melaju ke arah rumah susun, di tempat mana sekali-dua Sangkot melayani pelanggannya.
Malam bulat bundar dengan irama langit yang tak pas. Kedua insan itu akhirnya terkapar. Si lelaki segera keluar karena matahari sudah mengintip malu di sela-sela kabel listrik yang centang-prenang. Si perempuan langsung byar-byur mandi, kemudian menjemur kainnya yang basah di lorong rumah susun.