Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Janji Parkijo

12 Januari 2019   17:39 Diperbarui: 12 Januari 2019   20:49 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinggal berbelanja sedikit, baru berjualan tak jauh dari kafe atau sekitar seratus meter dari perempatan jalan tempat biasa Parkijo mangkal. Oh, Tuhan. Terbayang betapa asyiknya menemani lelaki itu berjualan. Pekerjaan yang halal, meski dikotori berdagang minuman keras. Tapi itu lebih baik daripada menjual diri atau memalak orang-orang.

"Kabarnya kau mau menikah dengan Parkijo?" Pertanyaan yang mengejutkan, tapi membuat pipi Sangkot bersemu merah.

"Betul! Darimana kau tahu?"

"Siapa pula yang tak tahu. Beritanya sudah tersebar ke mana-mana." Sintong mengeluh. Dibuangnya rokok yang tak jadi dia sundut. "Tapi kau masih bekerja seperti biasa, kan?"

"Tidaklah! Aku akan menjadi istri setia Parkijo. Melupakan semua kenangan buruk dan meninggalkan pekerjaan memalukan ini."

"Berarti aku tak bisa memilikimu lagi semalaman?"


"Bisa saja, kalau kau memang ingin digebuki Parkijo," seloroh Sangkot. Lelaki di sebelahnya memucat. Dia pasti takut membayangkan Parkijo mengeluarkan pisau cap garpu dari sisi pinggangnya, lalu bles menikamkannya ke ulu hati Sintong. Itu merupakan kejadian yang tak boleh terjadi.

"Ah, kau bisa saja! Tapi malam ini aku ingin memilikimu. Hanya aku tak mampu membayarimu." Sintong berharap cemas.

"Ya, tak apa! Jadilah malam ini gratis saja. Bonus untuk pelanggan terakhir."

Sintong tertawa. Sangkot tersipu sambil mengekori lelaki itu ke arah jalan. Sebuah angkutan kota melintas. Sintong menyetopnya. Berdua mereka melaju ke arah rumah susun, di tempat mana sekali-dua Sangkot melayani pelanggannya.

Malam bulat bundar dengan irama langit yang tak pas. Kedua insan itu akhirnya terkapar. Si lelaki segera keluar karena matahari sudah mengintip malu di sela-sela kabel listrik yang centang-prenang. Si perempuan langsung byar-byur mandi, kemudian menjemur kainnya yang basah di lorong rumah susun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun