Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Janji Parkijo

12 Januari 2019   17:39 Diperbarui: 12 Januari 2019   20:49 1498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Malam bulat bundar dalam irama langit yang tak pas. Sebentar bulan mengintip, sebentar hilang ditelan awan. Bintang-bintang yang timbul-tenggelam, beradu guruh timpa-menimpa. 

Tapi Sangkot masih setia duduk di bekas bak truk yang mantap berdiri di pinggir jalan itu. Sangkot malam ini mengenakan gaun merah panjang dan ketat. Meski panjang, tapi belahan di depannya, hampir menjangkau selangkangan. 

Percuma saja dia bergaun panjang-panjang begitu, bila nafsu masih mengintip dari paha mulusnya. Tapi itulah daya tarik. Serupa pupur yang memuai di wajahnya. Serupa lipstik yang memasta di bibirnya. Serupa celak, serupa alis yang hitam menantang. Dan bau parfumnya menyengat setiap lelaki untuk menoleh.

Malam ini adalah malam terakhir baginya menjajakan diri. Karena Parkijo, lelaki preman yang senang mangkal di perempatan jalan, berjanji menikahinya. Lelaki yang tangannya bilur-bilur oleh tato itu, hendak merubah hidup. Dia akan berdagang di gerobak asongan, demi menjual rokok, permen dan minuman-makanan ringan. Itu setelah Sangkot setuju berhenti melacur, lalu memberikan simpanan uangnya kepada Parkijo sebagai modal usaha.

"Kalau disambi menjual minuman keras, barangkali tak apa, Sangkot! Barang terlarang, lebih susah menjualkannya, tapi menyemut pembelinya." Begitu katanya hari itu. Sangkot setuju. 

Baginya, lebih baik Parkijo memiliki usaha, ketimbang tiap hari malak dan membuat sakit hati setiap orang-orang yang dipalaknya. Bahkan orang-orang yang hendak melewati perempatan jalan itu, selalu takut melintas. Kalau-kalau Parkijo berdiri dari duduknya. Mendekat-merapat ke tubuh pejalan kaki, lalu meminta uang. Setidak-tidaknya sebungkus rokok yang diminta dan akan dibas-bus semalam suntuk hingga jelang dini hari.

Ah, siapa yang tak menyangka nasib Sangkot segera berubah. Dulu, dia memang tak ingin melacurkan diri. Tapi tersebab tak tahan diomeli terus oleh bapak-ibunya perkara dia tak menghasilkan uang, membuatnya membunuh kebencian terhadap melacurkan diri. Suaminya minggat dengan perempuan lain. Sedangkan dia ditinggali seorang gadis mungil yang tentu butuh makan. 

Bapak-ibu Sangkot tak tahan membiayai perempuan itu berdua anaknya terus-menerus. Mereka hanya pedagang kaki lima yang lebih sering tak berjualan karena berulangkali diganggu trantib.

"Sudah putus niatmu dinikahi Parkijo, Sangkot?" tanya Lenny, teman selacurnya, tadi sore.

"Sudah, Len. Lagipula, dengan meninggalkan pekerjaan ini, aku merasa lebih berharga. Aku juga tak ingin membuat anakku malu, bila kelak dia mengetahui pekerjaanku."

"Yakinkah kau janji Parkijo? Dia itu sudah tiga kali menikah. Tiga kali cerai. Apakah kau tak takut diceraikannya?" Lenny merapikan pupur di wajahnya. Sangkot sedikit tersentak. Ada kecemasan preman itu akan menceraikannya. Tapi dia menguatkan hati, lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.

"Mudah-mudahan Tuhan memberiku jalan terbaik, Len."

"Bersyukurlah kau, Sangkot. Ada lelaki yang berniat memperistrimu. Sedangkan aku, yah... entah sampai kapan." Perempuan itu langsung berlari, karena seseorang berteriak mengatakan, pelanggan Lenny sudah datang.

Nging-ngong suara nyamuk membuat posisi duduk Sangkot tak mantap di bekas bak truk itu. Sekali dia menghadap ke kiri, sekali ke kanan. Berulang-ulang pula dia menepuk nyamuk nakal yang mencoba menelusup di sela belahan roknya yang tinggi sampai selangkangan itu.

Saat hendak menyalakan rokok, tiba-tiba Sintong, lelaki yang telah dua kali menggaulinya, datang tergopoh. Wajahnya berkeringat.

"Hai, kau di sini rupanya. Ayo, cepat berlari."

Tanpa ba-bi-bu, Sangkot berlari mengikuti lelaki itu. Nalurinya cepat menangkap ada yang tak beres. Paling-paling ada trantib, dan kalau tertangkap, Sangkot siap-siap dijejalkan ke bak truk yang dipenuhi orang tangkapan. Dia juga harus siap-siap dicolak-colek atau dilecehkan petugas. Dan dia sangat benci. Karena untuk itu dia tak dibayar sama sekali.

"Kenapa, Tong?" cecar Sangkot ketika mereka berdua bersembunyi di belakang gedung kosong yang menghadap ke punggung rumah susun.

"Biasa! Ada penertiban di kafe. Aku tadi membawa ineks dua butir. Mau dijualkan, agar bisa membayarimu malam ini." Dia terkekeh. Ditawarkannya sebatang rokok kepada Sangkot. Namun perempuan itu menolak halus.

"Kau tak bertemu Parkijo?" Sangkot menutupi belahan roknya, agar naluri pejantan Sintong tak tersulut.

"Parkijo? Oh, tidak! Aku tak melihatnya. Tapi tadi pagi, dia kulihat sibuk di pasar. Entah apa yang dicarinya aku tak tahu."

Sangkot tersenyum. Pastilah Partijo hendak berbelanja barang bangunan untuk membuat gerobak jualan. Uang simpanan Sangkot memang sudah diberikan utuh kepada preman itu. Dan seminggu lagi, diharapkan gerobak selesai. 

Tinggal berbelanja sedikit, baru berjualan tak jauh dari kafe atau sekitar seratus meter dari perempatan jalan tempat biasa Parkijo mangkal. Oh, Tuhan. Terbayang betapa asyiknya menemani lelaki itu berjualan. Pekerjaan yang halal, meski dikotori berdagang minuman keras. Tapi itu lebih baik daripada menjual diri atau memalak orang-orang.

"Kabarnya kau mau menikah dengan Parkijo?" Pertanyaan yang mengejutkan, tapi membuat pipi Sangkot bersemu merah.

"Betul! Darimana kau tahu?"

"Siapa pula yang tak tahu. Beritanya sudah tersebar ke mana-mana." Sintong mengeluh. Dibuangnya rokok yang tak jadi dia sundut. "Tapi kau masih bekerja seperti biasa, kan?"

"Tidaklah! Aku akan menjadi istri setia Parkijo. Melupakan semua kenangan buruk dan meninggalkan pekerjaan memalukan ini."

"Berarti aku tak bisa memilikimu lagi semalaman?"

"Bisa saja, kalau kau memang ingin digebuki Parkijo," seloroh Sangkot. Lelaki di sebelahnya memucat. Dia pasti takut membayangkan Parkijo mengeluarkan pisau cap garpu dari sisi pinggangnya, lalu bles menikamkannya ke ulu hati Sintong. Itu merupakan kejadian yang tak boleh terjadi.

"Ah, kau bisa saja! Tapi malam ini aku ingin memilikimu. Hanya aku tak mampu membayarimu." Sintong berharap cemas.

"Ya, tak apa! Jadilah malam ini gratis saja. Bonus untuk pelanggan terakhir."

Sintong tertawa. Sangkot tersipu sambil mengekori lelaki itu ke arah jalan. Sebuah angkutan kota melintas. Sintong menyetopnya. Berdua mereka melaju ke arah rumah susun, di tempat mana sekali-dua Sangkot melayani pelanggannya.

Malam bulat bundar dengan irama langit yang tak pas. Kedua insan itu akhirnya terkapar. Si lelaki segera keluar karena matahari sudah mengintip malu di sela-sela kabel listrik yang centang-prenang. Si perempuan langsung byar-byur mandi, kemudian menjemur kainnya yang basah di lorong rumah susun.

Hari ini dia mulai liburan sampai selamanya. Setelah kainnya kering, dia akan berkemas. Dia berhenti menyewa di rumah susun itu. Dia akan pulang ke rumah orangtuanya menemui anak gadisnya tercinta. Seminggu setelah itu, dia berharap Parkijo menjemputnya. Mereka akan menikah dengan acara yang sangat sederhana.

Tapi hatinya tiba-tiba tercekat ketika melihat Maman, si penjaja koran, melintas dengan menjinjing jajaannya. Ada foto yang menarik hati Sangkot di salah satu koran yang dibawanya.

"Sini, Man! Lihat sebentar korannya."

Maman tersipu. Sedari dulu dia sudah menyenangi Sangkot. Bahkan sekali-sekali dia mengintip Sangkot mandi atau bergelut dengan pasangan sekejapnya. Tapi untuk memiliki perempuan itu tak mungkin. Selain tak memiliki uang, umur Maman masih muda. Baru empatbelas tahun.

Sangkot mengamati foto di halaman pertama koran yang diangsurkan Maman. Kemudian membaca judul beritanya; "Seorang Preman Tewas Dalam Penertiban Tadi malam". Di bawah foto tertulis jelas nama; "Parkijo".

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun