Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu I

2 Januari 2019   16:45 Diperbarui: 14 Januari 2019   16:53 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itulah, makanya nanti malam Kecik harus menunggu di perbatasan antara kampung dan jalan lintas provinsi. Leman tak perlu tahu ada penumpang haram. Begitu truk dengan BG 5544 MA melintas, Kecik harus sigap berlari. Truk akan melambat. Pintu kabin terbuka sedikit. Kecik mesti sanggup menelusup ke kabin dengan penuh perhitungan. Salah sedikit, dia bisa terpeleset jatuh, dan tubuhnya dilindas ban truk yang besar itu. Atau kalau gerakannya lambat, awak truk di belakang akan tahu. Bila berniat jahat, mereka akan berbalik arah dan melapor kepada Leman.

"Artinya aku akan dipecat!"

"Tahu!" Kecik mengekori langkah Kyai Ali yang panjang-panjang.

Lelaki itu menambahkan, bila memang sudah puluhan kilometer dari kampung, dan awak truk lain mengetahui ada penyelusup atau penumpang haram, semua saling tahu sama tahu saja. Kebanyakan awak truk sengaja memasukkan penumpang haram untuk senang-senang.

"Penumpang haram untuk senang-senang?" Kecik tak faham cerita Kyai Ali.

"Nanti kau mengerti sendiri."

Istri Kyai Ali menatap heran kedatangan dua lelaki itu. Ketika suaminya mengatakan bahwa Kecik akan ikut truk ke Jakarta, dia mencoba mencegah. Namun penjelasan panjang lebar Kyai Ali tentang Kecik dan perbuatan Boy, akhirnya membuatnya mengalah. Dia buru-buru menyiapkan santapan malam, kemudian masuk ke kamar demi membenahi pakaian yang akan dibawa suaminya.

"Nah, sekarang bagaimana dengan Kecik? Apa selama perjalanan harus memakai pakaian yang itu-itu juga?" tanya Istri Kyai Ali ketika mereka sama-sama mengaso di ruang tamu.

"Siapkan saja baju-baju bekasanku untuk dia. Mungkin bisa muat satu atau dua pasang. Ayo, sana pergi mandi dulu!" Kyai Ali menepuk punggung teman kecilnya. Setelah teman kecilnya mandi dan memakai baju bekasan Kyai, barulah pecah tawa di ruang tamu yang sempit itu.

Bagaimana tak geli melihat tubuh kurus Kecik tenggelam di dalam  pakaian bekasan Kyai. Apalagi Kecik kemudian membuat beberapa gaya yang menambah kelucuan.  Tawa pun tak urung berderai. Namun semua itu harus berakhir. Tawa harus diputus oleh aroma perpisahan.

Ya, ya. Setiap perpisahan selalu menorehkan sedikit luka di dada. Meskipun itu hanya perpisahan singkat, seminggu, dua minggu, atau malahan berbulan bila angkutan selalu ada dan bertumpuk-tumpuk. Maka akan ada derai air mata. Akan ada kecup perpisahan. Akan ada lambai yang kemudian hilang ditelan gerak laju kendaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun