"Ke Jakarta? Untuk apa?"
"Bekerja di truk!"
"Kau pikir pekerjaan di sini ringan? Pulang sana! Nanti kalau aku tiba dari Jakarta, aku janji membawakanmu bola kaki. Kau sangat ingin mempunyai bola kaki, kan?"
"Pokoknya aku tetap ikut!"
"Tak bisa!"
"Ikut!"
"Kecik!" Kyai Ali kesal. Dia memegang keras lengan Kecik. Anak itu meringis.
"Tolonglah, Kyai! Aku tak mau dihajar Boy terus-terusan. Aku tak mau dijadikan kuda beban. Apa Kyai ingin ini pertemuan kita yang terakhir?" Mata anak itu berair.
"Maksudmu?" Pegangannya di lengan Kecik, melonggar.
"Bisa saja aku sekarang tak ikut truk ke Jakarta. Aku akan pulang untuk dihajar Boy. Bila aku kemudian pingsan dan tak bisa tertolong...." Kecik dipeluk erat Kyai Ali. Lelaki itu tak bisa memaafkan dirinya bila kelak Kecik mati di tangan ayahnya sendiri. Ya, meskipun hatinya membantah, Boimin belum tentu tega menyiksa Kecik sampai mampus.
Selesai membersihkan truk, Kyai Ali permisi kepada Leman. Dia dan Kecik melangkah pulang. Kyai Ali mewanti-wanti agar Kecik tak banyak omong ikut truk ke Jakarta. Kalau sampai Leman tahu, bisa bahaya. Kyai bisa dipecat. Leman paling tak ingin jumlah awak truk yang diberangkatkan dari kampung akan bertambah di tengah jalan. Kalau yang menumpang memang membayar ongkos, itu lain cerita. Tapi kalau sekadar ikut menumpang dan mengurangi uang jalan, itu menjadi derita. Jelas saja menjadi derita bagi para awak truk, karena jatah makan-minum mereka pasti berkurang. Tepatnya mereka harus berhemat!