"Ini apa, sialan!"
Si pemilik kepala meringis sambil memegangi keningnya yang memar. "Jangan, Yah! Itu upahku membantu mengisi bak mandi Mak Latief. Aku mau menabung untuk meneruskan sekolah."
"Sekolah?"
Pletak! Jitakan Boy hinggap di ubun-ubun  anak itu.  "Umur kau sekarang berapa? Hampir lima belas tahun! Mana cocok lagi duduk di bangku kelas lima SD. Cocoknya uang ini untukku." Boy tertawa. Lila mengedipkan mata ke arah Kecik. Saat Boy masih tertawa, Lila merebut gumpalan uang itu. Lekas dia selipkan ke saku baju Kecik. Ibarat peluru, anak itu segera berlari sekencang-kencangnya.
Kecik menelusuri jalan kampung. Pikirannya tak karuan. Kalau pulang lagi ke rumah, selain uangnya bisa diambil paksa, dia pasti dihajar Boy sampai mampus. Kecik tak mau itu. Lebih baik minggat saja. Tapi minggat ke mana? Ke ibukota kecamatan? Apa yang mau dia kerjakan di sana? Bagaimana kalau dia kelaparan dan tak mempunyai uang? Atau, beranikah dia mengemis seperti anak gelandangan?
Kecik teringat mendiang ibunya. Ibunya pernah berpesan, bahwa pekerjaan yang harus dia hindari adalah mengemis. Hidup tak boleh berpangku tangan. Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah kerja keras. Kecik tak mau ibunya sedih di alam sana, bila mengetahui anaknya mengemis.
Tiba-tiba terbetik ide yang cukup cemerlang di benak Kecik. Bagaimana kalau dia ikut Kyai Ali ke Jakarta? Maksudnya bukan jalan-jalan. Melainkan bekerja. Toh dia bisa mengerjakan yang ringan-ringan. Seperti memijiti bahu Kyai Ali atau Sujak Pelor kalau tengah capai. Tenaganya kuat juga mencuci mobil, mengangkat barang-barang yang ringan, membelikan makanan. Aha! Dia melompat kegirangan. Tumpukan ide berkelindan di kepalanya, pecah menjadi tawa yang membuatnya seperti anak gila.
Dia bergegas menuju rumah Kyai Ali. Rumah itu kelihatan sepi. Hanya ada istri Kyai Ali  sedang meneteki anaknya di teras rumah.
"Bukannya tadi kau sudah pulang, Kecik?" Istri Kyai Ali berdiri. Dia membawa anaknya ke dalam rumah, Â kemudian muncul sendirian sekian menit berselang. "Kau tak pulang ke rumah, ya? Minggat?"
"Tidak, Wak! Aku tadi sudah pulang. Tapi langsung dimarahi ayah." Kecik menggaruk-garuk lengannya. Dia menyenderkan punggung di dinding rumah. "Kyai Ali ke mana?"
"Dia sudah pergi ke rumah Bang Leman."