“Sepertinya abang salah!” Kyai Ali menyela. Dia menatap lamat-lamat kaca spion sebelah kiri. “Aku tadi sempat melihat sebuah mobil, seperti jeep, muncul di belakang si Herman. Herman sepertinya langsung naik. Nah, nah… Itu cahaya lampu mobil itu.”
Sujak sekilas melihat ke arah pandangan Kyai Ali. “Apa kubilang! Dia itu memang tak bisa dipercaya. Dia pasti mengejar dan akan merampok kita.” Sujak menekan pedal gas lebih dalam. Truk melaju kesetanan.
“Mobil itu ikut melaju kencang juga, Bang!” Lobe menoleh ke belakang. Dari kaca kabin yang bebentuk persegi empat, dia sangat jelas melihat mobil yang mengejar laju truk mereka. “Lebih cepat lagi, Bang!” jeritnya.
Jantung Kecik kebat-kebit. Begini kiranya ancaman demi ancaman yang sering dihadapi petarung jalan raya. Tepukan halus Kyai Ali di bahunya, membuat Kecik sedikit tenang. Bagaimanapun, dia harus kuat tenaga dan mental. Kalau tak, dia lama-lama bisa stress, dan terpaksa pulang ke rumah menemui si Boy yang brengsek. Dia harus bertahan, meskipun ulu hatinya sesak bercampur sesuatu yang mencoba melesak dari lobang kencing dan anusnya. Dia tak berharap banyak, selain Tuhan segera menolong mereka.
“Mampuslah kita! Matilah!” Lobe menjerit.
“Tak usah takut! Selama kita tak berbuat salah, Tuhan pasti membantu kita. Tenang, tenang!”
Jalanan di depan semakin berliku, juga curam. Bersaling-silang kaki kanan Sujak menekan pedal gas dan kopling, pun kaki kirinya yang menekan pedal rem. Dia mencoba lebih tenang dari orang-orang yang sekabin dengannya. Dialah kunci pertahanan sekarang ini. Kalau dia juga kalang-kabut, alamat truk masuk ke jurang yang menganga seolah mulut buaya.
“Jangan membuatku panik!” geram Sujak. Lobe mengusap wajahnya yang berkeringat. Dia tak mau mati lajang. Walaupun sudah hampir berkepala empat, dia belum juga beristri. Baru tiga bulan ini dia sedang mendekati Salemah, perempuan penjual gado-gado yang sering mangkal di pasar kecamatan.
“Hei, ada truk yang sedang berhenti di depan!” Kyai Ali spontan menjerit kesenangan. Sujak menekan pedal rem kuat-kuat. Terdengar suara decit ban lumayan keras. Aroma angit, seperti ada yang terbakar, tercium dari kolong truk. “Itu truk teman-teman kita.” Akhirnya Kyai Ali menghembuskan napas lega.
“Hei, jangan ngebut-ngebut!” Lelaki yang sedang rebahan di belakang truknya, langsung berdiri sambil mengacungkan tinju. Sujak tertawa. Dia turun dari kabin truk disusul yang lain.
“Hai, Regar! Sehatnya dikau.” Sujak meninju pelan perut lelaki itu.
“Setannya kau!”
Keduanya tertawa.
“Kenapa kalian berhenti?” Lobe menimpali.
“Ada tanah longsor di depan. Mungkin baru sekitar dua jam lagi kita baru bisa lewat.” Dia duduk bersila di atas aspal.
Sujak sebentar menggerak-gerakkan pinggang. Lobe berjalan menuju lokasi tanah longsor. Sementara Kyai Ali dan Kecik pergi ke belakang truk mereka, lalu duduk lesehan di situ
“Kau takut, Kecik? Kalau ingin membatalkan niat ikut kami ke Jakarta, sekarang saja. Nanti kau pulang naik bis.” Pelan sekali Kyai berkata kepada anak di sebelahnya, yang tentu saja belum bisa menyembunyikan ketakutannya.
“Memang kejadian seperti ini sering terjadi? Maksudku seperti orang yang mengejar kita tadi?”
“Ya, demikianlah yang sering dihadapi petualang jalan raya, Kecik. Banyak dukanya, meski sukanya juga ada. Bagaimana, mau pulang saja?”
Kecik menatap bintang-bintang di angkasa raya. Kebetulan malam ini cerah. Dia menegakkan kedua belah kaki, dan meletakkan dagunya di sela lutut. Dia kemudian mengingat mendiang ibunya. Seandainya ibunya masih hidup hingga sekarang, tentulah nasib tragis tak akan menimpa dirinya. Ibunya orang yang gigih. Meskipun Boy belum pemberang seperti sekarang ini, tapi kala ibunya masih hidup, lelaki itu sudah setia dengan tabiatnya yang pemalas. Ibunyalah yang berjibaku di pasar menjual sayur-mayur dan minyak goreng. Ayahnya hanya sesekali membantu, atau dia lebih senang kerja sambilan di ladang orang. Kalau tidak, memalak di pasar seperti yang pernah dilakoni Sujak.
“Aku tetap ikut ke Jakarta, Kyai. Aku akan bekerja di truk ini.”
“Mengenai bajing loncat tadi?” Kyai Ali tersenyum. Tapi seketika seyumannya lenyap ketika moncong jeep berhenti sekian meter dari mereka. Herman turun diikuti teman-temannya.
Keringat dingin menjalari tubuh Kyai Ali dan Kecik. Hanya saja mereka yakin tak akan terjadi sesuatu yang membahayakan diri mereka. Mustahil Herman dan teman-temannya mau berbuat nekad di tempat ramai seperti ini.
“Hai, akhirnya kita ketemu lagi. Kenapa kalian tadi mengebut? Takut kalau-kalau kami bajing loncat, ya?” Tawa Herman pecah diiringi teman-temannya. Sujak dan Regar, karena mendengar suara riuh itu, segera menyusul ke belakang truk BG 5544 MA itu.
“Ada apa?” Sigap Sujak mendekati Kyai Ali dan Kecik. Regar telah siap dengan sebilah pisau.
“Oho, telah terjadi kesalahpahaman rupanya. Aku hanya ingin mengembalikan dongkrak kalian. Tadi tertinggal di tempat kalian mengganti ban truk.”
“Dongkrak?” Mata Sujak melotot. Dia akhirnya tertawa. Mereka kemudian saling bersalam-salaman. Jeep dan penumpangnya langsung merangsek ke depan. Herman melambai sebagai tanda perpisahan.
Hampir tiga jam, iring-iringan kendaraan terbebas dari rintangan tanah longsor. Bau keringat di kabin truk yang disopiri Sujak, mulai mekar. Menyerbak ke mana-mana. Ada kelakar demi kelakar diciptakan untuk menghalau jenuh. Masing-masing bercerita tentang masa lalu dan harapan ke depan. Kecik hanya sekali-sekali menjawab bila ditanya.
Rerimbun hutan yang sekian lama menyekap jalan mereka, berganti tanah datar dengan ratusan atau mungkin ribuan pohon kelapa sawit, bersaling-silang dengan ilalang yang terhampar, mungkin sampai sejauh mata memandang. Kecik melihat ada sekumpulan rumah yang ditemukan jarang-jarang. Sebagian dikelap-kelipi lampu listrik, sebagian lagi disungkup gelap, seperti tanpa penghuni.
Kendaraan di depan hanya ada iring-iringan truk. Sesekali Sujak memainkan lampu bila berpapasan dengan kendaraan yang berlawanan arah dengan mereka.
Kelakar orang-orang di kabin mulai sepi. Sujak digantikan Lobe memegang kemudi. Kecik yang terkantuk-kantuk, rebah di pangkuan Kyai Ali. Malam telah sangat jauh merangkak, sehingga dinginnya pukul empat fajar, seperti ketukan-ketukan di kaca jendela truk yang tertutup setengah.
Embunlah yang mengetuk-ngetuk itu. Lobe merinding. Menyesal dia tak mengenakan jaket berbulu miliknya. Mengenakannya sekarang, sama saja menciptakan badai yang dapat memelintir lehernya. Coba, siapa yang sanggup menghentikan truk sebentar, kemudian mengambil tas butut di jok belakang. Harimau itu pasti langsung mengaum. Lobe sama sekali tak mau memacing amarah harimau Sujak.
(Bersambung)
Bagian sebelumnya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI