Mohon tunggu...
Ridwan Hidayat
Ridwan Hidayat Mohon Tunggu... Seni

Amorfati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dibalik tameng dan spanduk

29 Agustus 2025   23:29 Diperbarui: 29 Agustus 2025   23:29 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 : dibalik spanduk dan tameng

Demonstrasi adalah wajah lain dari demokrasi. Ia hadir ketika suara rakyat tidak lagi mendapat ruang di parlemen atau meja perundingan. Di jalanan, rakyat membawa spanduk, megafon, dan harapan agar suaranya didengar. Berhadapan dengan mereka, aparat berdiri berlapis tameng, dengan mandat menjaga keamanan dan ketertiban. Pertemuan keduanya membentuk panggung klasik: rakyat menuntut, aparat menghadang.

Di balik tameng aparat, ada dilema. Mereka adalah abdi negara yang diperintahkan menjaga stabilitas, tetapi sekaligus manusia yang berasal dari rakyat itu sendiri. Dalam praktiknya, garis tipis antara menjaga ketertiban dan membungkam aspirasi seringkali kabur. Ketika gas air mata dilepaskan atau pentungan diayunkan, kepercayaan publik terhadap negara ikut terkikis. Tameng yang seharusnya melindungi, justru dianggap sebagai simbol represi.

Sementara itu, di balik spanduk rakyat, tersimpan keresahan yang tak sederhana. Spanduk bukan sekadar alat visual, melainkan manifestasi dari suara yang gagal sampai ke ruang legislatif. Tuntutan yang tertulis di atas kain adalah ekspresi keputusasaan, sekaligus bentuk keberanian. Rakyat turun ke jalan bukan semata untuk membuat gaduh, tetapi karena mereka merasa saluran aspirasi formal telah tertutup.

Ketegangan antara tameng dan spanduk menunjukkan jarak yang semakin lebar antara negara dan warganya. Aparat dan rakyat seolah berada di dua kubu berseberangan, padahal pada dasarnya keduanya memiliki tujuan yang sama: menciptakan kehidupan yang aman, adil, dan layak. Persoalannya, komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan sering digantikan oleh benturan fisik.

Esensi demokrasi bukanlah seberapa kuat aparat mampu membubarkan massa, melainkan seberapa serius negara mendengar tuntutan warganya. Jika bentrokan terus berulang, luka yang lahir tidak hanya di tubuh rakyat, melainkan juga di legitimasi negara.

"Di balik tameng dan spanduk" akhirnya bukan hanya kisah benturan di jalanan, melainkan refleksi tentang relasi negara dan rakyat. Apakah negara hadir sebagai pelindung, atau justru sebagai penghalang? Pertanyaan ini layak dijawab, agar suatu hari tameng dan spanduk tidak lagi berhadap-hadapan, melainkan berjalan beriringan menuju demokrasi yang lebih matang.

Namun kenyataannya, pola benturan aparat dan rakyat bukan hanya terjadi sekali dua kali. Dari masa reformasi hingga kini, siklus yang sama berulang: kebijakan kontroversial lahir, rakyat menolak, aparat dikerahkan, bentrokan pecah. Seolah negara belum menemukan cara elegan untuk merespons kritik tanpa melukai warga yang mereka seharusnya layani.

Di era digital, benturan fisik di jalanan juga selalu berakhir menjadi benturan narasi di media sosial. Video aparat memukul massa atau ojol ditabrak kendaraan dinas bisa viral dalam hitungan menit. Publik bereaksi cepat, mengutuk, menyebarkan, dan memperbesar sorotan. Artinya, setiap tindakan aparat kini bukan lagi hanya urusan internal, melainkan konsumsi publik yang membentuk citra negara di mata rakyat.

Selain itu, relasi aparat dan rakyat juga seringkali dipengaruhi oleh bagaimana media membingkai peristiwa. Ada media yang menonjolkan rusuhnya massa, ada pula yang menyoroti kerasnya tindakan aparat. Dalam kondisi seperti ini, kebenaran kerap tenggelam dalam kepentingan. Di sinilah pentingnya transparansi, agar masyarakat tidak hanya melihat potongan peristiwa, melainkan keseluruhan konteks.

Harapan terbesar adalah lahirnya mekanisme dialog yang nyata antara negara dan rakyat. Aparat bisa tetap menjalankan fungsinya menjaga ketertiban, sementara rakyat tidak perlu merasa harus turun ke jalan untuk didengar. Jika ruang partisipasi rakyat dibuka lebih luas, dan aparat dilatih untuk lebih humanis, maka tameng dan spanduk tidak perlu lagi saling berhadapan. Yang ada hanyalah bangsa yang berjalan bersama, dengan rakyat yang percaya pada negaranya, dan negara yang benar-benar hadir untuk rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun