Mohon tunggu...
Ridho Syahbibi
Ridho Syahbibi Mohon Tunggu... Freelancer - Berdayakan Keluarga melalui Hukum. Jadikan Indonesia Negeri Ramah Keluarga

Magister Hukum Keluarga Pascasarjana Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember ~ Facebook: Ridho Syahbibi ~ Instagram: @syahbibiridho Penulis Buku Implementasi Wakaf Produktif Masjid Roudhotul Muchlisin Jember Perspektif KHI dan UU No. 41 Tahun 2004, Penerbit CV. Dewa Publishing (Juni 2022)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Konstitusi Ala Indonesia

7 April 2021   01:50 Diperbarui: 7 April 2021   02:12 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ridho Syahbibi

(Mahasiswa Magister Hukum Keluarga Pascasarjana IAIN Jember)

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.Sedangkan istilah Undang-Undang dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar.

Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada pengetian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politikistilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan gronwet (Undang-Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau gronwet (Undang-Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk di Indonesia.

Tujuan Konstitusi

Pada prinsipnya tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Pendapat yang hamper senada disampaikan oleh Loewenstein di dalam bukunya Political Power and the Governmental Process, bahwa konstitusi itu sesuatu sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Oleh karena itu setiap konstitusi senantiasa mempunyai dua tujuan: 

Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik, 

Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa, serta menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka.

Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara

Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.

Sejalan dengan pemahaman di atas, Stuycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:

Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.

Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.

Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

Dari empat materi muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau undang-undang di atas, menunjukkan arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara. Karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara yang mereka pimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini telah terkaver dalm konstitusi, sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang yang utama dalam studi ilmu hukum tata negara.

Demokrasi Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen 2002

Demokrasi sebagai sistem pemerintah dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-citanya. Suatu pemerintahan dari rakyat haruslah sesuai dengan filsafat hidup rakyat itu sendiri yaitu filsafat Pancasila, dan inilah dasar filsafat demokrasi Indonesia.

Kekuasaan di Tangan Rakyat

Pembukaan UUD 1945 Alinea IV

"...... Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat......"

Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945

"Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan" (Pokok Pikiran III)

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 (1)

"Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang Berbentuk Republik". Kemudian penjelasan terhadap pasal ini UUD 1945 menyebutkan bentuk kesatuan dan Republik mengandung isi Pokok Pikiran Kedaulatan Rakyat".

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 (2)

"Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar". Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam negara Republik Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tertinggi di tangan rakyat dan realisasinya diatur dalam Undang-Undang Dasar. Sebelum dilakukan amandemen kekuasaan tertinggi dilkukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Konsep Partisipasi

Konsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

"Segala Warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya".

Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945

"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang".

Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

"Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara".

Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen 2002

Sistem pemerintahan negara Indonesia sebelum dilakukan amandemen dijelaskan secara terinci dan sistematis dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan negara Indonesia ini dibagi atas tujuh yang secara sistematis merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat, oleh karena itu system pemerintahan negara ini dikenal dengan "Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara", yang dirinci sebagai berikut. Walaupun tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara menurut penjelasantidak lagi merupakan dasar yuridis, namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami suatu perubahan. Oleh karena itu sebagai suatu studi komparatif, sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 setelah amandemen, dijelaskan sebagai berikut.

Indonesia ialah Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum (Rechtstaat)

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh peraturan hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum (recht) di sini dihadapkan pada kekuasaan (macht). Prinsip dari sistem ini di samping akan tampak dalam rumusan pasal-pasalnya, juga akan sejalan dan merupakan pelaksanaan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechtsidee) yang menjiwai UUD 1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis.

Sistem Konstitusional

Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional, Ketetapan MPR, Undang-Undang dan sebagainya.

Dengan demikian sistem ini memperkuat dan menegaskan lagi system negara hukum. Dengan landasan kedua sistem negara hukum dan sistem konstitusional diciptakan sistem mekanisme hubungan dan hukum antar lembaga negara, yang sekiranya dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan pencapaian cita-cita nasional.

Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat

Menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002 kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD 1945 (Pasal 1 ayat 2). Hal ini berarti terjadi suatu reformasi kekuasaan tertinggi dalam negara secara kelembagaan tinggi negara, walaupun esensinya tetap rakyat yang memiliki kekuasaan. MPR menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002, hanya memiliki kekuasaan melakukan perubahan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden/Wakil Presiden sesuai masa jabatan, atau jikalau melanggar konstitusi. Oleh karena itu sekarang Presiden bersifat "Neben" bukan "Untergeordnet", karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 hasil amandemen 2002, pasal 6A ayat (1).

Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di samping MPR dan DPR

Kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai berikut:

"Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah di tangan Presiden (Concetration of power responsibility upon the President)".

Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 pasal 6A ayat (1). Jadi menurut UUD 1945 ini Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat.

Presiden Tidak Bertanggungjawab Kepada DPR

Sistem ini menurut UUD 1945 sebelum amandemen dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, namun dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 juga memiliki isi yang sama, sebagai berikut:

"Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR untuk membentuk Undang-Undang (Gezetzgebung) pasal 5 ayat (1) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbergrooting) sesuai dengan pasal 23. Oleh karena itu Presiden harus bekerjasama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung pada Dewan.

Menteri Negara ialah Pembantu Presiden, Menteri Negara tidak Bertanggungjawab Kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Sistem ini dijelaskan dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 maupun dalam Penjelasan UUD 1945, sebagai berikut:

"Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahannya dibantu oleh menteri-menteri negara (pasal 17 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen), Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara (pasal 17 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen 2002). Menteri-menteri negara itu tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas

Menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung (pasal 6A ayat (1). Dengan demikian dalam sistem kekuasaan kelembagaan negara Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR bahkan sejajar dengan DPR dan MPR. Hanya jikalau Presiden melanggar Undang-Undang maupun Undang-Undang Dasar, maka MPR dapat melakukan impeachment.

Meskipun Kepala Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "Diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Di atas telah ditegaskan bahwa ia bukan mandataris MPR, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR ataupun MPR. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun