Sesudah masuk kerja, terkadang saya dihadapkan pada situasi yang dilematis. Membawa bekal makanan sendiri di tempat kerja, memang, akan banyak sisi positifnya.
Selain makanan rapi, disiplin bangun lebih dini, tahu kebutuhan sendiri, nilai gizi terjaga, bisa makin akrab dengan teman-teman kantor lantaran berbagai makanan.
Kami juga tidak perlu repot ke luar kantor mencari makan dari satu warung ke warung lainnya. Kadang malas ke luar kantor saat jam istirahat hanya untuk mencari makan. Â
Bayangkan jika hanya satu warung dengan menu yang itu-itu saja. Pasti muncul rasa bosan. Terlebih, kita tidak tahu bagaimana mereka memproses makanannya.
Sebagai orang kesehatan, kekhawatiran seperti ini wajar jika muncul begitu saja, tanpa peru diingatkan. Takut sakit perut, terinfeksi, mual, muntah dan lain-lain. Makanya, teman-teman lebih banyak yang membawa makanan sendiri dari pada membeli di luar.
Di sisi lainnya, kasihan juga para penjaja makanan yang mojok di pinggir jalan. Bayangkan saja jika semua orang-orang kantor kayak kami. Membawa bekal makanan sendiri.
Lha yang membeli makanan mereka siapa?
Refleksi seperti ini kadang menyeruak begitu saja dalam benak. Naluri manusia yang ingin membantu sesama meski dalam jumlah yang tidak seberapa menggeliat, ada.Â
Pastilah makanan yang mereka jual tidak bakal habis terbeli. Jangankan untung, yang pasti rugi besarlah pedang makanan kecil di sekitar kita. Â
Terkadang saya membeli makanan ke mereka bukan karena saya butuh. Terlebih karena hanya ingin sekedar meringankan beban berat para penjual yang nilai keuntungannya tidak seberapa.
Benar, bahwa menjaga kesehatan sehat itu penting, memelihara nutrisi penting demi kebugaran diri. Namun sebagai makhluk sosial juga tidak kalah pentingnya, demi nilai kemanusiaan. Dengan begitu ada semacam kesimbangan hidup bermasyarakat.