Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Peran Membuka Diri bagi SDM Kesehatan Aceh

9 November 2021   04:45 Diperbarui: 11 November 2021   04:35 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perawat-perawat muda di Kampus Fakinah, Banda Aceh

Dua bulan terakhir gencar sosialisas lewat medis social dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) terkait penyerbaran informasi pemberangkatan perawat Indonesia ke Jerman. Peluang ini merupakan peluang pertama yang pernah ada untuk perawat Indonesia ke Jerman.

Jerman adalah salah satu negara maju di Eropa yang membuka diri bagi petugas kesehatan Indonesia. Beberapa negara Eropa lain yang menyediakan juga lapangan kerja bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di antaranya Belanda, Inggris dan Polandia.

Yang membedakan adalah, peluang ke Jerman kali ini merupakan program Government to Government (G to G). Program G to G ini banyak memberikan keuntungan bagi PMI dari berbagai sisi, baik itu legalitas, keamanan, social, hingga aspek ekonomi.

Jaminan aspek legal program ini amat jelas karena peyelenggaranya adalah Pemerintah Indonesia yang didukung oleh Pemerintah Jerman melalui Memorandum of Understanding (MoU).

Dari segi keamanan juga tranparan, karena dengan adanya MoU akan terhindar dari kasus-kasus PMI yang terlantar hingga proses yang tidak jelas yang sangat merugikan kandidat. 

Dari sisi sosial, program seperti ini umumnya mendapatkan sambutan positif dari banyak pihak, termasuk ikut sertanya peserta dari seluruh Indonesia melalui seleksi di mana memungkinkan adanya interaksi social antara professional satu dengan lainnya.

Sedangkan dari sisi finansial terlebih lagi sangat membantu. Program G to G ditujukan untuk membantu meningkatkan bukan hanya kesejahteraan rakyat Indonesia, namun juga meningkatkan kompetensi, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman pesertanya. Program G to G mendapatkan dukungan finansial yang jelas dari kedua negara, Indonesia dan negara tujuan.

Sayangnya, program seperti ini jarang terdengar oleh petugas kesehatan di Aceh. Petugas kesehatan di Aceh memperoleh informasi yang sangat minim terkait program serupa. Sangat disayangkan, hingga detik ini hanya 7 orang peserta dari Aceh yang mendaftar mengikuti program seleksinya. Tanggal 27 Oktober 2021 lalu telah diumumkan hasil seleksi tersebut.

Bukan lagi rahasia umum, terlepas dari potensi sumber daya alam dan manusia yang dimiliki Aceh, ternyata belum dimanfaatkan secara maksimal, termasuk pemberdayaan petugas kesehatan Aceh agar bisa berkontribusi secara global. Bukan hanya di Jerman, akan tetapi di negera-negara lain, temasuk di sejumah negara Timur Tengah, Jepang, Mesir, Amerika Serikat serta Australia. Beberapa event peluang kerja nyaris tidak jalan.

Prosesnya mandeg sebatas pada forum sosialisasi dan promosi tanpa ada realisasinya. Tentunya ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi mengapa peluang kerja di manca negara ini kurang mendapatkan respon positif di Aceh. Di antaranya faktor budaya, dukungan keluarga, peran masyarakat dan pemerintah daerah serta  sistem pendidikan yang kurang mendukung.

Tulisan ini berusaha untuk menganalisa empat faktor di atas dengan tujuan memberi tambahan wawasan pada professional kesehatan untuk membuka diri lebih lebar terhadap program-program global yang ada.

Selain itu memberikan informasi kepada masyarakat umumnya dan pengambil kebijakan di tingkat daerah khususnya guna mengambil kebijakan yang tepat dalam upaya peningkatan kesejahteraan petugas kesehatan yang ada di Aceh.

Tingkat Kesejahteraan

Petugas kesehatan di Indonesia yang teregistrasi mencakup 23 profesi masih dirasakan belum mendapatkan tingkat kesejahteraan yang layak. Dua faktor penyebab utamanya adalah kemampuan Pemerintah yang masih terbatas dalam mengankat mereka sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tidak adanya keseimbangan antara pencetakan tenaga professional melalui pedidikan dengan lapangan kerja yang ada, termasuk di sektor swasta.

Memperhatikan dua hal tersebut, tingkat kesejahteraan professional kesehatan Aceh merupakan tugas kita bersama. Rendahnya tingkat kesejehtaraan ini bisa berdampak negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Yang sangat dirasakan adalah lulusan pendidikan profesional yang tidak bekerja sesuai bidang keahliannya. Perawat, Bidan, Ahli Kesehatan Lingkungan merupakan tiga profesi yang banyak dilahirkan di Aceh. Lebih dari 20 lembaga institusi pendidikan kesehatan di provinsi Aceh yang mencetak tenaga Bidan dan Perawat. Dari profesi keperawatan saja, sekitar 1000 lulusan dihasilkan setiap tahun.

Menurut BP2MI Pemerintah hanya mampu menyerap 15% nya. Berarti lebih dari 850 profesional dengan latar belakang perawat terancam tidak mendapatkan pekerjaan sesuai harapan masyarakat.

Fenomena ini tidak bisa diatasi hanya dengan berharap dari pemerintah daerah, pemerintah pusat serta swasta yaneg terbatas kemampuannya.

Oleh sebab itu, mengantisipasi permintaan PMI di luar negeri merupakan solusi konkrit yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam upaya peningkatan kesejahtaraan insan kesehatan Aceh.   

Akar Budaya

Aceh merupakan provinsi dengan latar belakang budaya yang memegang tradisi kuat syariat Islam. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormal terhadap kemuliaan budaya yang memegang erat prinsip religi ini, Aceh di pihak lain perlu membuka pikiran untuk menyejahterakan masyarakatnya. Karena Islam juga mengajarkan pentingnya kesejahteraan dalam berbagai sisi kehidupan bagi umatnya, termasuk ekonomi.

Kekuatan budaya yang konservatif di Aceh membuat masyarakatnya berfikir dua tiga kali apabila harus mengizinkan putera-puterinya untuk bekerja di luar negeri.

Ironisnya dalam perjalanannya, sangat sedikit jumlah tenaga kesehatan asal Aceh yang bekerja di luar negeri. Boleh dikatan jumlah mereka bisa dihitung dengan jari bahkan yang di Saudi Arabia. Perubahan peningkatan PMI kesehatan asal Aceh sejak akhir tahun 1990 hingga sekarang tidak mengalami peningkatan signifikan, alias stagnan. 

Dukungan Pemerintah dan Tokoh Masyarakat

Perluasan informasi peluang kerja dari Pemerintah bukan hanya dibutuhkan. Akan tetapi perlu dukungan pula dari tokoh adat atau masyarakat, khususnya pemuka agama. Sebagai provinsi yang menjunjung tinggi syariat Islam, seharusnya peluang peluang ke Timur Tengah memperoleh sambutan hangat di Aceh. Kenyataannya tidak demikian.

Penulis pernah beberapa kali mengikuti event sosialisasi PMI di Sigli dan Banda Aceh, akan tetapi tidak menghasilkan buahnya. Jangankan ke luar negeri, untuk bekerja di provinsi lain, professional kesehatan Aceh masih harus mempertimbangkan beberapa kali.

Personal Collection. Perawat muda Aceh di kampus Universitas Abulyatama.
Personal Collection. Perawat muda Aceh di kampus Universitas Abulyatama.

Menurut penulis hanya ada 2 perawat Aceh di Timika Papua dan hanya 1 perawat di Makassar. Selama masa Covid-19, entah apa yang melatarbelakangi, sehingga terjadi pelonjatakn tajam jumlah perawat dan bidan Aceh yang bekerja sebagai relawan di Jakarta, yang mencapai angka sekitar 150 orang. Padahal sebelumnya tidak pernah terjadi.

Dengan dukungan pemerintah, baik itu lewat media cetak, elektronik serta pendidikan, akan sangat membantu perluasan informasi, sehingga diharapkan mampu membantu mengatasi kesenjangan sosial ekonomi insan professional kesehatan di Aceh.

Globalisasi Sistem Pendidikan

Yang tidak kalah pentingnya adalah peran sistem pendidikan. Harus kita akui sistem pendidikan kita rata-rata masih berorientasi lokal atau nasional.

Akibatnya, kualitas lulusan hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan lokal. Inilah salah satu faktor terbesar mengapa Bahasa inggris misalnya hanya sebatas dikuasai di tingkat kelas atau bangku kuliah. Jebolan sarjana kesehatan Aceh masih jauh dari harapan professional tingkat global untuk masalah ini.

Dari pengalaman penulis, tidak lebih dari 5% lulusan perguruan tinggi kesehatan di Aceh yang mampu mengaplikasikan kemampuan berbahasa asing ini di tempat kerja.

Oleh sebab itu, perlu adanya evaluasi dan penelitian lebih lanjut, jika perlu modifikasi dan inovasi materi kuliah muatan lokal dalam kurikulum pendidikan profesi kesehatan di Aceh. Tentu saja hal ini tidak mudah. Kampus harus berbenah dari dalam terlebih dahulu sebelum menerapkan konsep ini. Yakni, peningkatan penguasaan bahasa Inggris bagi dosen-dosen kampus kesehatan. Jika ini tidak terjadi, kami kuatir, jauh panggang dari api. Yakni, tindakan yang tidak sesuai dengan maksudnya.

Kesimpulan

Ringkasnya, di era pasca Covid-19 ini, mengatasi permasalahan tenaga kerja dengan upah yang layak bagi tenaga kesehatan di provinsi Aceh khususnya pemberdayaan SDM Kesehatan melalui program PMI memang tidak mudah.

Yang pasti, kita membutuhkan pendekatan terpadu dari pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat, orangtua, serta  pihak penyelenggara pendidikan di Aceh. Pemberdayaan SDM kesehatan di Aceh melalui program PMI merupakan solusi konkrit yang tidak membutuhkan dana besar dari APBN/APBD. Justru sebagai ivestasi.

Kita membutuhkan keseriusan dan komitmen para pelaku dan pihak terkait di dalamnya. Dengan demikian bukan tidak mungkin, tingkat kesejahteraan SDM kesehatan di Aceh tidak perlu waktu lama guna mencapai tujuan peningkatan kesejahteraannya. Insyaallah.

Sigli, 9 November 2021

Ridha Afzal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun