Dari pengalaman penulis, tidak lebih dari 5% lulusan perguruan tinggi kesehatan di Aceh yang mampu mengaplikasikan kemampuan berbahasa asing ini di tempat kerja.
Oleh sebab itu, perlu adanya evaluasi dan penelitian lebih lanjut, jika perlu modifikasi dan inovasi materi kuliah muatan lokal dalam kurikulum pendidikan profesi kesehatan di Aceh. Tentu saja hal ini tidak mudah. Kampus harus berbenah dari dalam terlebih dahulu sebelum menerapkan konsep ini. Yakni, peningkatan penguasaan bahasa Inggris bagi dosen-dosen kampus kesehatan. Jika ini tidak terjadi, kami kuatir, jauh panggang dari api. Yakni, tindakan yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Kesimpulan
Ringkasnya, di era pasca Covid-19 ini, mengatasi permasalahan tenaga kerja dengan upah yang layak bagi tenaga kesehatan di provinsi Aceh khususnya pemberdayaan SDM Kesehatan melalui program PMI memang tidak mudah.
Yang pasti, kita membutuhkan pendekatan terpadu dari pemerintah, pemuka agama, tokoh masyarakat, orangtua, serta  pihak penyelenggara pendidikan di Aceh. Pemberdayaan SDM kesehatan di Aceh melalui program PMI merupakan solusi konkrit yang tidak membutuhkan dana besar dari APBN/APBD. Justru sebagai ivestasi.
Kita membutuhkan keseriusan dan komitmen para pelaku dan pihak terkait di dalamnya. Dengan demikian bukan tidak mungkin, tingkat kesejahteraan SDM kesehatan di Aceh tidak perlu waktu lama guna mencapai tujuan peningkatan kesejahteraannya. Insyaallah.
Sigli, 9 November 2021
Ridha Afzal