Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dari Soekarno ke Jokowi: Dinasti Bersampul Demokrasi

23 Agustus 2020   19:41 Diperbarui: 23 Agustus 2020   19:48 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: CirebonPikiranRakyat.com

Mengamati dunia percaturan politik di Indonesia, sebagai rakyat biasa, saya jadi tanda tanya,: "Sebetulnya negeri ini milik siapa?"
Benar bahwa kita hidup di zaman demokrasi yang banyak digembar-gemborkan oleh penggede politik negeri ini. 

Semuanya bilang kita bebas berpendapat, kita bebas menentukan diri sendiri dan kita bukan hidup dalam kungkungan kerajaan.
Tidak sepenuhnya benar. Kenyataan yang ada di lapangan beda dengan yang bapak-ibu politikus dengang-dengungkan di atas. 

Negeri ini tidak ubahnya sebuah kerajaan yang berbeda-beda. Berada dari tangan satu raja, ke raja lain. Dari satu dinasti ke dinasti lain. Seolah negeri ini milik mereka. Negeri ini hanya ladang permainan politik penguasa.  

Benar, bahwa kita memilih pemimpin secara demokratis. Namun, demokrasi ini definisikan sesuai selera yang punya kuasa. Guru-guru di sekolah enak saja menjabarkan bagaimana indahnya kehidupan demokrasi. Padahal, di luar kelas, kehidupan guru tidak sama seperti yang diajarkan.

Bayangkan, rakyat kecil hanya punya modal suara. Para politisi, orang kaya, bisa membelinya. Sebelum Pilkada, Pemilu, atau apapun nama pemilihannya, rakyat banyak dijejali janji dan aneka 'sogokan' agar kita milih mereka.

Sesudah mereka berkuasa, beserta konco-konconya, meraup keutungan besar dari kekuasaannya yang makin menggelembungkan harta dan kekayaannya. Itulah perusahaan, asset mereka.

Dari zaman Soekarno hingga Jokowi, kayaknya tidak beda. Dinasti Soekarno turun ke Megawati, atas nama melestarikan jasa Proklamator beserta aliran Marhaenismenya. Soeharto ke Tutut atau Tommy  lewat Golkarnya. Kemudian Gus Dur ke Yenny, tapi belum kesampaian. Diteruskan Megawati ke Puan yang kini tengah meroket pamor lewat PDIP-nya. Dari SBY ke AHY yang sedang mencari koalisi Demokrat yang tepat. Kemudian kini, dari Jokowi ke Gibran, yang sedang menyusun ancang-ancang.

Entahlah apa lagi namanya. Yang pasti terkesan itu bukan definisi demokrasi. Itu seperti serah-terima kekuasaan. Terlampau kasar kalau saya sebut pengambil-alihan kekuasaan, manakala nantinya terjadi pergantian dinasti.
Pada Pemilu 2024 nanti, saya kuatir pemenangnya sudah ditentukan, sebelum pertandingan dimulai.

Kerajaan Indonesia

Saya tinggal tidak jauh dari bekas pusat Kerajaan Singhasari di Malang.  Puing-puingnya sudah tidak ada. Tinggal beberapa arca kecil yang tergeletak tak terawat di pinggir jalan. Singhasari (sekarang Singosari), hancur gegara ketidak-stabilan politik. Singosari tidak bertahan lama. Kurang dari 100 tahun, kemudian pindah ke Kerajaan Doho (Kediri).

Dari Ken Arok pada tahun 1222-1227, yang membunuh Tunggul Ametung. Kemudian diambil alih oleh Anusapati (putera Tunggul Ametung) yang membunuh Ken Arok, pada tahun 1227-1248. Diteruskan oleh Tohjoyo (anak Ken Arok dengan Ken Umang). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun