Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... pengembara kata

Penyiar radio yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pesantren di Mata Seorang Awam

15 Oktober 2025   05:23 Diperbarui: 15 Oktober 2025   05:28 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukan santri, tapi sangat kagum pada pesantren (Sumber: dok.pribadi)

Jujur, saya akui, saya sangat awam tentang pesantren. Seumur hidup saya tak pernah bersentuhan dengan pendidikan ala pesantren. Padahal, saya tinggal di sebuah kelurahan yang dilingkupi lingkungan pesantren.

Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa bisa begitu? Pertama, orang tua saya tak pernah mengenalkan pendidikan pesantren. Sejak SD hingga SMA, sekolah saya sekolah negeri. Begitu pula saat kuliah S1 dan S2.

Saya tak sempat menanyakan alasan Ibu memilih sekolah negeri. Hanya, saya menduga Ibu mengira sekolah negeri murah biayanya. Maklum, kondisi ekonomi keluarga kala itu pas-pasan. Lagi pula, Ibu adalah satu-satunya orang tua yang berjuang untuk menghidupi keluarga. Adik-adiknya dan saya.

Kedua, menurut Ibu, sekolah negeri dipandang menjanjikan kala itu. Paling tidak, Ibu punya harapan, kelak setelah mentas dari sekolah saya digadang-gadang akan menjadi seorang PNS. Atau, sekurang-kurangnya mudah untuk mencari pekerjaan. Betapa sederhana pikiran Ibu kala itu. Tetapi, saya maklum.

Alhamdulillah, setelah melewati proses belajar bertahun-tahun itu agaknya saya tak cukup mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi, sejatinya tidak serta merta hal itu disebabkan oleh status sekolah tempat saya belajar yang negeri itu. Ada hal-hal yang harus saya jalani. Termasuk, nyambi bekerja saat kuliah. Kerja serabutan di kota rantau.

Lain dari itu, erat pula kaitan dengan jejaring pertemanan. Kebetulan saat masih berstatus mahasiswa saya tercatat aktif berkomunitas. Khususnya, komunitas seni dan sastra.

Lewat komunitas itu saya mendapatkan kesempatan memperluas jejaring pertemanan. Beberapa di antara teman-teman saya merupakan senior awak media. Ada pula yang pengusaha.

Singkat kata, boleh dibilang saya adalah hasil didikan sekolah yang hanya minim pendidikan agama. Meminjam istilah seorang kawan, "sekolah sekuler". Maka, saya benar-benar asing dengan pesantren.

Saking asingnya dengan pesantren, saya sempat punya pandangan yang kurang baik tentang pesantren. Menurut saya, pesantren itu semacam pendidikan pinggiran. Bahkan, terkesan kampungan.

Betapa, pandangan saya waktu itu memperlihatkan kepongahan. Saya lebih membanggakan sekolah-sekolah saya yang negeri itu. Sekolah favorit pula!

Akan tetapi, rasa bangga itu rupanya meluntur pula seiring perjalanan waktu. Utamanya, ketika saya pulang kampung dan mencicipi dunia kampus sebagai seorang tukang kebun. Saya dipertemukan mahasiswa yang ternyata santri.

Awalnya, kami kerap terlibat dalam diskusi kecil di kantin, sekretariat UKM, pos satpam, parkiran, maupun di ruang-ruang terbuka lainnya. Saya banyak menimba pengalaman dan pengetahuan para santri itu. Menjadi pendengar, sesekali menjadi penanggap.

Ihwal yang mula-mula membuat saya jatuh hati pada pesantren adalah metode dan strategi pembelajaran yang diterapkan. Saya menangkap kesan, pesantren rupanya lembaga pendidikan yang canggih. Dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum, negeri maupun swasta, pesantren memiliki tradisi literasi yang sangat kuat dan kokoh.

Setiap hari para santri diajak mempelajari kitab. Membaca dan mengulasnya bersama-sama dengan para guru di pesantren. Lalu, menghafal isinya. Bahkan, sampai mengkaji kitab itu dengan melakukan riset terhadap fenomena-fenomena yang berlaku di masyarakat, apa pun masalahnya. Mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Rujukannya, ya kitab yang dipelajari.

Menariknya lagi, hasil riset itu juga diuji kemudian. Tak hanya di depan para guru, uji materi dari hasil riset itu juga disajikan dalam forum yang melibatkan santri-santri lain. Kata seorang kawan yang santri, forum itu diistilahkan sebagai bahtsul masail.

Di forum itulah, para santri berdebat ilmiah atas hasil riset mereka. Para santri diajak berpikir kritis dan dilatih berkomunikasi yang cerdas pula. Sebab, debat yang mereka lakukan tak semata-mata untuk menemukan siapa yang menang debat.

Sebaliknya, debat itu dilakukan dalam upaya menemukan pertanyaan-pertanyaan yang jitu untuk kemudian dirumuskan jawabannya secara bersama-sama. Hasilnya, akan dijadikan semacam formula yang diterapkan dalam tata nilai atau norma yang berlaku di kalangan para santri.

Tak cukup di situ, permasalahan yang diketengahkan pun kerap bersinggungan dengan fenomena kekinian. Sehingga, formula yang dihasilkan pun bisa sangat bervariasi. Bahkan, memungkinkan pula bagi upaya melakukan pembacaan ulang dan pembacaan kritis atas formula yang telah dihasilkan. Dengan cara itu, koreksi dan penyempurnaan formula pun dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Bagi saya, tradisi literasi pesantren lebih ilmiah dibandingkan pembelajaran di perguruan tinggi. Sebab, sependek jangkauan ingatan saya, pembelajaran di perguruan tinggi tak langsung bersentuhan dengan buku-buku yang wajib dibaca dan dipelajari secara mendalam. Yang saya ingat, dosen hanya memberi rekomendasi tentang buku-buku yang perlu dibaca.

Sayang, rekomendasi itu tak diikuti sebagaimana cara yang pesantren lakukan. Yaitu, membaca dan mengulas isi salah satu buku. Lalu, mengkaji dan menguji kandungan isi buku itu.

Malah, ada pula dosen yang menyusun modul. Akan tetapi, modul itu sendiri tak cukup mampu dipahami mahasiswa sebagai panduan, agar mahasiswa mempelajari buku-buku yang dirujuk modul tersebut. Parahnya lagi, kalau kemudian ada mahasiswa yang menganggap modul sebagai buku babon.

Mengapa bisa begitu? Mungkin, mahasiswa berpandangan bahwa modul yang disusun dosen itulah yang bakal dijadikan bahan rujukan saat Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Semester. Jadi, orientasinya sebatas pada angka yang bakal dibubuhkan di Kartu Hasil Studi atau Transkrip Nilai. Demi IPK yang bisa digunakan untuk melamar kerja.

Ya, ya! Sangat bisa dipahami. Situasi ekonomi tak menentu yang diperparah dengan makin sempitnya lapangan kerja pun akhirnya jadi motivasi.

Tetapi, mari sekali lagi kita membaca bagaimana pendidikan di pesantren. Ternyata, kitab-kitab yang dibelajarkan bukan semata soal agama. Akan tetapi, menyoal kehidupan secara menyeluruh. Sebab, urusan agama juga berkait erat dengan hal-hal keduniawian dan kebutuhan akhirat.

Kitab-kitab itu berbicara tentang bagaimana baiknya manusia berperilaku terhadap semua yang telah membuatnya ada dan hadir di dunia ini, sehingga ia memiliki peran. Daya jangkau kitab-kitab itu tak sekadar menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang jauh di luar dugaan. Teramat dalam dan luas.

Uniknya, pembelajaran kitab-kitab itu disajikan pula dengan bentuk-bentuk tata laku yang simbolik. Tujuannya, agar para santri menghargai dan menghormati ilmu. Juga, menghormati para pendahulu yang telah menyebarkan ilmu itu hingga sampai pada mereka.

Tentu, rupa-rupa simbolik ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk mengajarkan santri agar selalu eling bahwa semua ilmu itu bersumber dari Tuhan yang Maha Berilmu, Maha Mengetahui. Harapannya, para santri tidak menjadi sosok yang mudah besar kepala hanya karena merasa menguasai ilmu tertentu. Sebab, tujuan belajar bukan sekadar menimba ilmu. Akan tetapi, mengajarkan tentang bagaimana menjadi manusia yang berguna.

Sungguh, saya sangat mencintai pesantren. Bahkan, sempat saya katakan pada seorang mahasiswa yang santri itu, saya merasa menyesal karena tak sempat mengenyam pendidikan di pesantren. Dan, kepadanya saya pun meminta agar sudi mengajari saya tentang apa-apa yang dipelajari di pesantren. Tidak ada kata terlambat, bukan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun