Ya, ya! Sangat bisa dipahami. Situasi ekonomi tak menentu yang diperparah dengan makin sempitnya lapangan kerja pun akhirnya jadi motivasi.
Tetapi, mari sekali lagi kita membaca bagaimana pendidikan di pesantren. Ternyata, kitab-kitab yang dibelajarkan bukan semata soal agama. Akan tetapi, menyoal kehidupan secara menyeluruh. Sebab, urusan agama juga berkait erat dengan hal-hal keduniawian dan kebutuhan akhirat.
Kitab-kitab itu berbicara tentang bagaimana baiknya manusia berperilaku terhadap semua yang telah membuatnya ada dan hadir di dunia ini, sehingga ia memiliki peran. Daya jangkau kitab-kitab itu tak sekadar menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang jauh di luar dugaan. Teramat dalam dan luas.
Uniknya, pembelajaran kitab-kitab itu disajikan pula dengan bentuk-bentuk tata laku yang simbolik. Tujuannya, agar para santri menghargai dan menghormati ilmu. Juga, menghormati para pendahulu yang telah menyebarkan ilmu itu hingga sampai pada mereka.
Tentu, rupa-rupa simbolik ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk mengajarkan santri agar selalu eling bahwa semua ilmu itu bersumber dari Tuhan yang Maha Berilmu, Maha Mengetahui. Harapannya, para santri tidak menjadi sosok yang mudah besar kepala hanya karena merasa menguasai ilmu tertentu. Sebab, tujuan belajar bukan sekadar menimba ilmu. Akan tetapi, mengajarkan tentang bagaimana menjadi manusia yang berguna.
Sungguh, saya sangat mencintai pesantren. Bahkan, sempat saya katakan pada seorang mahasiswa yang santri itu, saya merasa menyesal karena tak sempat mengenyam pendidikan di pesantren. Dan, kepadanya saya pun meminta agar sudi mengajari saya tentang apa-apa yang dipelajari di pesantren. Tidak ada kata terlambat, bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI