Awalnya, kami kerap terlibat dalam diskusi kecil di kantin, sekretariat UKM, pos satpam, parkiran, maupun di ruang-ruang terbuka lainnya. Saya banyak menimba pengalaman dan pengetahuan para santri itu. Menjadi pendengar, sesekali menjadi penanggap.
Ihwal yang mula-mula membuat saya jatuh hati pada pesantren adalah metode dan strategi pembelajaran yang diterapkan. Saya menangkap kesan, pesantren rupanya lembaga pendidikan yang canggih. Dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum, negeri maupun swasta, pesantren memiliki tradisi literasi yang sangat kuat dan kokoh.
Setiap hari para santri diajak mempelajari kitab. Membaca dan mengulasnya bersama-sama dengan para guru di pesantren. Lalu, menghafal isinya. Bahkan, sampai mengkaji kitab itu dengan melakukan riset terhadap fenomena-fenomena yang berlaku di masyarakat, apa pun masalahnya. Mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Rujukannya, ya kitab yang dipelajari.
Menariknya lagi, hasil riset itu juga diuji kemudian. Tak hanya di depan para guru, uji materi dari hasil riset itu juga disajikan dalam forum yang melibatkan santri-santri lain. Kata seorang kawan yang santri, forum itu diistilahkan sebagai bahtsul masail.
Di forum itulah, para santri berdebat ilmiah atas hasil riset mereka. Para santri diajak berpikir kritis dan dilatih berkomunikasi yang cerdas pula. Sebab, debat yang mereka lakukan tak semata-mata untuk menemukan siapa yang menang debat.
Sebaliknya, debat itu dilakukan dalam upaya menemukan pertanyaan-pertanyaan yang jitu untuk kemudian dirumuskan jawabannya secara bersama-sama. Hasilnya, akan dijadikan semacam formula yang diterapkan dalam tata nilai atau norma yang berlaku di kalangan para santri.
Tak cukup di situ, permasalahan yang diketengahkan pun kerap bersinggungan dengan fenomena kekinian. Sehingga, formula yang dihasilkan pun bisa sangat bervariasi. Bahkan, memungkinkan pula bagi upaya melakukan pembacaan ulang dan pembacaan kritis atas formula yang telah dihasilkan. Dengan cara itu, koreksi dan penyempurnaan formula pun dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Bagi saya, tradisi literasi pesantren lebih ilmiah dibandingkan pembelajaran di perguruan tinggi. Sebab, sependek jangkauan ingatan saya, pembelajaran di perguruan tinggi tak langsung bersentuhan dengan buku-buku yang wajib dibaca dan dipelajari secara mendalam. Yang saya ingat, dosen hanya memberi rekomendasi tentang buku-buku yang perlu dibaca.
Sayang, rekomendasi itu tak diikuti sebagaimana cara yang pesantren lakukan. Yaitu, membaca dan mengulas isi salah satu buku. Lalu, mengkaji dan menguji kandungan isi buku itu.
Malah, ada pula dosen yang menyusun modul. Akan tetapi, modul itu sendiri tak cukup mampu dipahami mahasiswa sebagai panduan, agar mahasiswa mempelajari buku-buku yang dirujuk modul tersebut. Parahnya lagi, kalau kemudian ada mahasiswa yang menganggap modul sebagai buku babon.
Mengapa bisa begitu? Mungkin, mahasiswa berpandangan bahwa modul yang disusun dosen itulah yang bakal dijadikan bahan rujukan saat Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Semester. Jadi, orientasinya sebatas pada angka yang bakal dibubuhkan di Kartu Hasil Studi atau Transkrip Nilai. Demi IPK yang bisa digunakan untuk melamar kerja.