Tata niaga perbatikan di Pekalongan menampakkan fenomena sosial ekonomi yang unik. Struktur heirarkinya begitu kompleks. Berlapis, bertingkat, dan beririsan.
Ada kalanya, di dalam sebuah struktur terdapat substruktur. Ada saatnya pula di dalam substruktur itu terdapat irisan-irisan substruktur. Begitu seterusnya sampai pada bagian paling kecil berupa unit.
Hubungan antarbagian juga rumit. Tidak hanya sejalur. Akan tetapi, memiliki banyak jalur.
Konsekuensinya, distribusi kesejahteraan pekerja menjadi masalah yang membayang-bayangi kelangsungan hidup industri batik. Kehidupan industri batik---khususnya, batik tulis---terus dihantui dengan makin langkanya para pekerja batik. Umumnya, pekerja batik tulis berusia di atas 50 tahun.
Mengapa demikian? Salah satu penyebab, rendahnya upah yang diterima. Akibatnya, citra pekerja batik agaknya jauh dari gemerlap cahaya panggung karnaval atau peragaan busana yang mengusung batik sebagai tema utamanya. Bahkan, boleh jadi mereka tak cukup punya uang untuk sekadar membeli sepotong baju batik buatan tangan mereka sendiri.
Ironi? Mungkin iya. Tetapi, pemandangan ini agaknya telah dianggap sebagai kewajaran. Lebih-lebih, karena telah terawat dengan baik dari masa ke masa.
Anggapan wajar itu juga didukung fakta, bahwa batik sebagai karya seni kolektif telah melahirkan banyak jenis pekerjaan. Tak ayal jika batik dipandang sebagai berkah bagi masyarakat Pekalongan. Â Sebagaimana disebutkan Ahmad Ilyas, penulis buku Batik Pekalongan, jenis-jenis pekerjaan itu antara lain pengrajin, pengobeng atau pekerja, pedagang, dan tukang babar. Pekerjaan ini masih dalam lingkup produksi batik, belum termasuk jenis-jenis pekerjaan di sekitar produksi batik. Deretnya bisa sangat panjang.
Khusus tukang babar, Ilyas mengungkapkan, pekerjaan ini tergolong unik. Sebab, kedudukannya berada di antara buruh dan pengusaha. Alih-alih bertahan dari gempuran industrialisasi batik yang mulai masif pada pertengahan abad ke-18, keberadaan tukang babar boleh dibilang menjadi cara untuk menutupi kelemahan mereka dalam memenagi persaingan dagang batik.
"Pekerjaan sebagai tukang babar semula bukanlah pilihan. Tetapi, sebuah keterpaksaan. Mereka memiliki keterampilan untuk memproduksi batik, namun tidak memiliki kecakapan yang cukup dalam menjual produk mereka. Maka, mereka menyerahkan sepenuhnya proses perdagangan itu kepada para pengusaha yang jelas-jelas memiliki pasar," ungkap pemerhati budaya Kota Pekalongan itu.
Lalu, apa yang membuat mereka tidak cukup cakap memasarkan produk? Lelaki yang sehari-harinya disapa dengan Pak Amak---dalam tayangan berdurasi 19 menitan itu---mengungkapkan, mekanisme pasar yang tercipta tidak memungkinkan mereka dapat menjual langsung produk mereka. "Namun, mereka ini memiliki keuntungan di balik kedudukan mereka yang demikian. Yaitu, mereka tak perlu memikirkan bagaimana mereka harus menjual produk mereka," ungkapnya.